REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta, Prof Sukron Kamil, menjelaskan, penanggalan Hijriyah memang diinisisasi pada masa kekhalifahan Sayyidina Umar bin Khattab.
Inisiatif tersebut melahirkan hal-hal besar yang menandai semangat hijrah serta semangat keberagaman yang dibawa Nabi Muhammad SAW pada masa kepemimpinannya selama fase Madinah. "Dimana kita tahu pada masa itu (hijrah Madinah), muncul Piagam Ma dinah yang mengikat semangat persatuan dalam keragaman," kata Syukron saat dihubungi Republika, belum lama ini.
Sejumlah literatur Islam mencatat, hijrah Nabi dimulai pada tahun 638 Masehi. Sedangkan kalender Hijriyah yang dibuat semasa Sayyidina Umar berpatokan pada tahun ke-17 setelah Nabi Hijrah. Menurut Syukron, ide penanggalan hijriah bermula dari saran salah satu gubernur pada masa kepemimpinan Sayyidina Umar, Abu Musa al-Asy'ari. Dia mengkritik surat-surat yang dikirimkan Umar karena hanya menyebut tahun dan bulan. Se dangkan tanggal di dalam surat-surat itu tidak disebutkan.
s
"Jadi, dulu ada tradisi di masyarakat Arab bahwa penyebutan itu hanya tersentralisasi pada tahun saja. Seperti jika ada pertanyaan, kapan Rasulullah lahir? Di tahun gajah, nah ini kan spektrumnya masih luas," kata dia.
Abu Musa al-Asy'ari berpendapat, perbendaharaan kalimat negara harus lebih spesifik dalam penyebutan ruang dan waktu. Sebuah peristiwa harus dapat didokumentasikan de ngan baik agar dapat dimaknai lebih otentik di kemudian hari. Sejak itu, Sayyidina Umar menggelar rapat dengan sejumlah petinggi ke khalifahannya.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib pun mengusulkan penanggalan Islam harus dimulai sejak masa hijrah, yaitu tepatnya pada tahun ke-17 hijrah Nabi Muhammad SAW. Sejak masa itu, kata Syukron, inisiatif penanggalan Hijriyah membentuk suatu struktur baru yang semakin mengidentikkan Islam sebagai sebuah agama yang modernis dan progresif.
Jauh sebelum masyarakat Barat memperkenalkan peradaban modern, kata dia, sesungguhnya Islam sudah memulai itu dengan bukti penanggalan Hijriyah yang kelak membentuk peradaban berbasis hukum dan ekonomi kuat. "Bahkan sampai Islam masuk ke Indonesia, spirit transformasi sosial yang dibawa itu juga mempengaruhi raja-raja di nusantara yang bersentuhan dengan tradisi Islam. Seperti kerajaan di Aceh, Demak, dan Mataram," ung kap dia.