REPUBLIKA.CO.ID, Kemerdekaan Indonesia tak bisa dilepaskan dari peran besar orga nisasi-organisasi keislaman. Berpuluh-puluh tahun organisasi ke islaman berjibaku berjuang baik lang sung maupun tak langsung dalam mela wan penjajah. Kebanyakan organisasi keislaman membangun fondasi kuat pada bidang pendidikan dan dakwah.
Al-Irsyad Al Islamiyyah salah satunya. Organisasi ini telah berdiri sejak 6 September 1914 atau 15 Syawal 1332 H. Lembaga yang didirikan Syekh Ahmad Surkati Al Ansori itu boleh dibilang menjadi motor berdirinya madrasah-madrasah di Pulau Jawa, terutama di Batavia.
Bersamaan dengan awal berdirinya, Al Irsyad telah mendirikan Madrasah Al Irsyad Al Islamiyyah yang lokasinya berada di Pe tamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Tak bu tuh waktu lama, Al Irsyad makin memper luas misinya untuk mencerdaskan kaum pribu mi melalui pendidikan.
Pada 1917, organisasi itu kemudian membuka cabang madrasahnya yang pertama di Tegal, Jawa Tengah. Tak berselang lama, Al Irsyad juga mendirikan cabang madrasah di sejumlah kota lainnya, seperti di Cirebon, Pe kalongan, Bumiayu, dan Surabaya. "Andil Al Irsyad Al Islamiyyah dalam kemerdekaan ini dalam bidang pendidikan dalam rangka ikut mencerdaskan bangsa dan menyadarkan umat dan bangsa pentingnya sebuah kemer dekaan suatu bangsa," kata ketua Dewan Syuro Al Ir syad Al Islamiyyah, KH Abdullah Jaidi, kepada Republika, beberapa hari lalu.
Menurut Kiai Jaidi, sejak awal berdirinya, Al Irsyad terus berjuang untuk membuka wa wasan dan pemikiran umat, membangun ka rakter umat dan bangsa. Al Irsyad terus menyerukan pentingnya kesatuan dan persatuan bangsa untuk mewujudkan kemerdekaan. Karena itu, Kiai Jaidi menjelaskan, dalam mengisi perjalanan kemerdekaan Indonesia, Al Irsyad konsisten untuk terus berperan dalam mencer daskan umat dan bangsa melalui sarana pen didikan dan dakwah.
"Sebaiknya kita ramaikan dengan sese der hana mungkin dengan tetap menerapkan pro tokol kesehatan. Mudah-mudahan pandemi Co vid-19 ini segera berlalu sehingga kita bisa ber aktivitas secara normal kembali," kata Kiai Jaidi.
Begitu juga dengan Persatuan Islam (Persis) yang berdiri di Bandung pada 12 September 1923. Kehadirannya melecut semangat rakyat Indonesia untuk keluar dari tekanan-tekanan penjajahan. Menurut Wakil Ketua Umum PP Persis KH Jeje Zainudin, pada masa prakemerdekaan, Persis berjuang melalui gerakan dak wah dan penyadaran tentang pentingnya kemerdekaan serta pentingnya Islam sebagai pandangan hidup masyarakat.
Kiai Jeje mengatakan, gerakan pemikiran yang membangun kesadaran akan pentingnya perjuangan kemerdekaan dan kemurnian ajar an Islam itu direalisasikan Persis. Salah satunya dengan menerbitkan media berupa majalah, yakni majalah Allisan dan Pembela Islam.
Persis pun berupaya untuk membangun kesadaran perjuangan politik melalui Partai Syarikat Islam kemudian Partai Islam Indonesia (PII) pada 1930-an. Sementara perjuangan Persis melalui pendidikan, yakni dengan mendirikan sekolah pelatihan kader yang dinamakan Pendidikan Islam (Pendis). Pada 1936, Persis men dirikan Pesantren Persatuan Islam di Pa jagalan Bandung. Persis juga aktif di Majlis Islam A'la Indonesia (MIAI) yang didirikan 1937. Fakta sejarah mencatat kader-kader Persis jiga terlibat langsung dalam sejumlah pertempuran melawan penjajah.
"Para aktivis, anggota dan Pemuda Persis juga bergabung dengan laskar laskar pejuang yang pada masa perjuangan kemerdekaan men jadi Hizbullah dan Sabilillah. Demikian juga pada saat perang memper tahankan kemerdekaan bersama rakyat Jawa Barat melakukan perlawanan dalam peristiwa Bandung lautan api," kata Kiai Jeje.
Dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan, Kiai Jeje menjelaskan pada 1954 Persis menolak ideologi komunisme dan men jadikan Kantor Pimpinan Pusat Persis sebagai kantor pusat Front Anti Komunis. Setelah ke merdekaan, Persis melanjutkan misinya untuk mencerdaskan umat dan memajukan bangsa.
"Memperingati kemerdekaan yang terbaik dan terpenting adalah dengan meningkatkan rasa syukur atas karunia Allah dan mening kat kan kesadaran dalam kehidupan berbangsa," kata dia.
Lain halnya dengan Syarikat Islam yang mulanya bernama Syarikat Dagang Islam. Sejak berdirinya pada SI fokus dalam mendorong meningkatnya perekonomian pribumi. SI membantu rakyat Indonesia mengembangkan jiwa dagangnya, terlebih anggotanya yang mengalami kesulitan dalam usaha. Itu dilaku kan agar naiknya status sosial pribumi.
Wasekjen Pimpinam Pusat Syarikat Islam Aulia Tahkim Tjokroaminoto menjelaskan, kongres pertama yang berlangsung 24 Juni 1916 atau disebut juga NATICO I menjadi sangat pen ting bagi Indonesia. Syarikat Islam pada saat itu menolak menggunakan nama Hindia Belanda dan hanya menggunakan bangsa Hin dia atau Hindia Timur. Menurut Aulia, hal itu untuk menghindari bangsa Hindia sebagai bagian dari Belanda.
"Saat itu belum ada perkumpulan yang berani menyebut istilah nasional secara resmi, kecuali syarikat islam. Pada kongres itu pula untuk pertama kalinya disuarakan tuntutan agar Indonesia memiliki suatu pemerintahan sen diri," kata Aulia.