REPUBLIKA.CO.ID, BULUKUMBA -- Dalam catatan sejarah, ada sejumlah tokoh yang berjasa menyebarkan Islam di Bumi Sulawesi. Salah satunya adalah Jawad Khatib Bungsu Syaikh Nurdin Ariyani.
Dia adalah ulama asal Sumatra Barat. Ulama yang terkenal dengan panggilan Datuk Ri Tiro ini datang ke Sulawesi Selatan bersama tiga ulama lainnya yang berasal dari Sumatra Barat, yaitu Datuk Patimang dan Datuk Ribandang. Mereka mendaratkan kakinya di Sulawesi Selatan pada 1604.
Setibanya di Pelabuhan Pare-Pare, mereka langsung memisahkan diri. Datuk Ribandang menyebarkan Islam di daerah Gowa dan Tello. Sementara Datuk Patimang lebih banyak menyebarkan Islam di daerah Suppa, Soppeng, Wajo, dan Luwu. Sedangkan Datuk Ri Tiro memilih berdakwah di Bantaeng dan Bulukumba.
Ketika Datuk Ri Tiro sampai di Tanah Bugis, masyarakat setempat telah memahami konsep Tuhan yang esa, meski masih menempatkan kekuatan-kekuatan magis dalam sistem keyakinan mereka. Mereka menyebut Tuhan dengan nama Dewata Seuwae yang berarti Tuhan yang tunggal. Konsep ketuhanan yang dipahami oleh masyarakat Sulawesi inilah yang akhirnya membuat Islam tidak begitu sulit diterima. Mengingat Islam juga mengenal satu Tuhan.
Untuk memperkenalkan Islam, Datuk Ri Tiro memulai misinya dengan mendekati raja yang memimpin Bulukumba dan sekitarnya. Langkah ini diambil dengan satu keyakinan bahwa, bila seorang raja bisa berubah pikiran menjadi seorang Muslim, rakyatnya akan dengan mudah pula diajak untuk menganut Islam.
Datuk Ri Tiro kemudian mendekati Raja Kerajaan Tiro, Launru Daeng Biasa, yang bergelar Karaeng Ambibia. Launru Daeng Biasa adalah cucu keempat dari Karaeng Samparaja Daeng Malaja yang bergelar Karaeng Sapo Batu yang merupakan raja pertama di Tiro. Dia kemudian mengajak sang raja untuk berdialog, namun sang raja menolaknya. Datuk Ri Tiro tak putus asa. Dia terus mendekati Raja Tiro, bahkan datang ke kediaman sang raja.
Dengan rendah hati, ia menyampaikan tujuan kedatangannya kepada sang raja. Beruntung akhirnya Raja Launru Daeng Biasa menyambutnya dengan baik. Datuk Ri Tiro kemudian memberikan penjelasan tentang kebenaran ajaran Islam yang dibawanya. Agama yang bersumber dari Alquran dan sunah Nabi Muhammad SAW.
Awalnya, Raja Launru tak mau meninggalkan keyakinan yang dianutnya sejak dia lahir. Namun, karena kegigihan Datuk Ri Tiro, sang raja perlahan-lahan menemukan kebenaran di dalam ajaran Islam. Akhirnya, ia pun menerima agama Islam dan menganutnya. Selanjutnya, Raja Launru Daeng Biasa mengislamkan istrinya, kemudian kerabatnya, bahkan seluruh rakyat Kerajaan Tiro dan sekitarnya.
Datuk Ri Tiro juga mengislamkan Kareang Tiro, yaitu raja yang berkuasa di Dusun Hila-Hila, Bulukumba. Namun, Datuk Ri Tiro tidak sempat menjelaskan lebih jauh tentang Islam kepada sang raja, karena ketika Datuk Ri Tiro menghadapnya, sang raja berada dalam keadaan sakaratul maut. Melihat hal itu, Datuk Ri Tiro langsung menuntun sang raja untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Namun, sang raja tak mampu melafalkannya dengan benar hingga tiga kali percobaan. Dia baru bisa mengucapkannya pada kali keempat.
Datuk Ri Tiro kemudian melanjutkan dakwahnya menuju daerah Kajang. Ini adalah daerah adat yang diperintah oleh Ammatoa. Daerah ini adalah yang paling kuat memegang adat, bahkan hingga hari ini. Namun, Datuk Ri Tiro berhasil mengislamkan daerah ini.
Namun, karena proses yang belum selesai, ada beberapa kesalahpahaman yang timbul. Salah satunya adalah kepercayaan penduduk Kajang bahwa Alquran diturunkan pertama kali di daerah ini. Hal lainnya adalah falsafah sufi yang mereka pegang kuat. Falsafah itu adalah ''Sambayang tamma tappu, je'ne tamma luka", yang artinya "Shalat yang tak pernah putus, wudhu yang tak pernah batal." Puasa Ramadhan yang mereka jalani pun cuma tiga hari, yakni awal, pertengahan, dan akhir Ramadhan saja. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Kemungkinan, Datuk Ri Tiro tak ingin memberatkan penduduk Kajang pada awal mereka masuk Islam.
Tak mau memaksa
Dalam menyampaikan pelajaran tasawuf, Datuk Ri Tiro berusaha menyesuaikan dengan kecenderungan masyarakat Bulukumba pada masa itu yang menyukai hal-hal yang bersifat kebatinan. Dalam penerapannya, Datuk Ri Tiro tidak terlalu mementingkan keteraturan syariat. Salah satu ajaran beliau yang terkenal adalah "dalam menyusun lima telur, yang pertama diletakkan tidak selalu yang menempati urutan pertama". Artinya, penerapan lima rukun Islam tidaklah harus berurutan mulai dari syahadat sampai haji.
Kala itu, Datuk Ri Tiro membolehkan setiap orang yang baru mengenal Islam untuk memilih apa yang dirasa lebih memudahkan. Puasa, misalnya, jika dirasa lebih mudah daripada shalat, dapat dilakukan terlebih dahulu, demikian pula dengan syariat-syariat yang lain. Langkah ini dilakukan Datuk Ri Tiro karena dia tidak ingin memaksakan penerimaan Islam oleh penduduk. Dia memilih mengajarkan Islam secara perlahan-lahan. Untuk itu, dia tidak ingin memberatkan penduduk untuk mengerjakan ibadah pada awal mereka mengenal Islam.
Selain itu, Datuk Ri Tiro juga tidak berusaha menghilangkan tradisi lokal di daerah tempat dia menyebarkan Islam. Alhasil, di daerah tersebut, akulturasi Islam dan budaya hingga sekarang masih terasa.