REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sembilan peneliti dari Balai Litbang Agama Jakarta (BLAJ) melakukan penelitian tentang “Tradisi Keagaman dalam Manuskrip” pada Maret 2020 lalu.
Penelitian ini mengungkapkan lima tradisi keagamaan yang ada di empat provinsi Indonesia, diantaranya tradisi nebus weteng di Cirebon, Jawa Barat.
Dalam penelitian BLAJ dijelaskan bahwa nebus weteng dikenal juga dengan nama lain, seperti wetengan, tujuh bulanan, dan mitoni. Istilah nebus weteng sendiri berasal dari dua kata, yaitu “Nebus” yang artinya adalah membebaskan atau melunaskan. Sedangkan “Weteng” berarti perut.
Ketua Tim Peneliti BLAJ, Zulkarnain Yani, menjelaskan nebus weteng merupakan tradisi yang bertujuan menunjukkan rasa syukur sebuah keluarga karena telah mendapat anugerah dan keberentungan berupa jabang bayi yang ada di dalam rahim seorang anggota keluarga.
“Tradisi nebus weteng adalah satu dari sekian rangkaian tradisi yang berkaitan dengan kehamilan seorang wanita,” kata Zulkarnain dalam acara policy brief penelitian “Tradisi keagamaan dalam manuskrip” di Jakarta, Senin (10.8).
Dalam manuskrip Cirebon yag berjudul Serat Murtasiyah, menurut dia, kehamilan seorang istri itu diperingati setiap bulan, dari usia kandungan satu bulan hingga sembilan bulan.
Namun, tradisi dalam rangka kehamilan yang masih banyak diamalkan masyarakat Cirebon Girang saat ini tidak lagi setiap bulan seperti halnya tercantum dalam manuskrip tersebut.
“Sekarang sebagain besar pelaksanannya hanya dilakukan saat usia kandungan mencapai empat dan tujuh bulan saja,” jelas Zulkarnain.
Sementara itu, Ketua Umum Masyarakat Penaskahan Nusantara (Manasa), Munawar Holil, menjelaskan bahwa dalam berbagai tradisi keagamaan yang ada di masyarakat terdapat banyak nilai.
“Dalam konteks Nebus Wateng di Cirebon itu kan acara tujuh bulanan akan berkumpul. Kita bisa melihat di sana ada nilai-nilai pada masa lalu, yang kemudian diwariskan dalam konteks penyelenggaraan tradisi itu,” katanya kepada Republika.co.id.
Dia menambahkan, orang yang sedang hamil cenderung akan merasa menghadapi masalahnya sendirian. Namun, dengan adanya kegiatan bekrumpul dalam tradisi itu, orang hamil merasa ada dukungan dari orang-orang terdekatnya.
“Bisa dilihat bahwa misalnya kalau konteksnyaaktivitas dalam tradisi keagamaan itu mereka berkumpul, solidaritas muncul, kohesi sosial semakin kuat di antara mereka,” jelas pria yang akrab dipanggil Kang Mumu ini.