Sabtu 08 Aug 2020 04:31 WIB
Narendra Modi

Memahami India, Menyelami Hindu, Mengupas Politik Modi

Politik dan Usaha Penghapusan Jejak Islam di India kala Modi berkuasa

PM India Narendra Modi (tengah) meletakan batu pertama pembangunan kuil Dewa Rama di bekas Masjid Babri di India.
Foto:

Memang satu generasi yang lalu, jauh sebelum Modi berkuasa, para pemimpin nasionalis Hindu sayap kanan di negara bagian Maharashtra mengganti nama Bombay menjadi Mumbai - sebutan untuk dewi pelindung kota Mumbadevi.

Dan kota-kota lain di India juga menyusul: Madras menjadi Chennai; Calcutta, Kolkata; Bangalore, Bengaluru. Semua perubahan tersebut merupakan penolakan terhadap nama Anglicized yang mulai digunakan selama pemerintahan kolonial Inggris.

Dalam gelombang perubahan nama terbaru, kali ini bukan tentang menghapus berbau kolonial. Namun ini tentang menghapus nama yang berbau Muslim.

Perubahan dipercepat pada 2018, menjelang pemilihan umum tahun tersebut. Sekitar 1 dari 6 orang India adalah Muslim. Setelah Hindu, mereka adalah kelompok agama terbesar di negara itu. Di Allahabad, lebih dari 20% populasi kota adalah Muslim. Banyak Muslim menelusuri garis keturunan mereka yang telah berabad-abad.

"Dengan mengubah nama kota, pada dasarnya budaya dan warisan kami yang dihilangkan," kata Ashraf Ahmed (tahun 30), seorang pemilik bisnis IT Muslim yang besar di Allahabad. Dia masih merujuk ke kota asalnya dengan nama itu.

"Kami telah hidup bersama selama ratusan tahun - Muslim, Kristen, Hindu, dan lainnya. Banyak agama yang dimiliki orang India," katanya sembari berbicara di bawah bayang-bayang masjid setempat.

Kemudian suaranya menjadi berbisik. Ashraf berkata," Tetapi umat Islam saat ini menghadapi beberapa masalah dari pemerintah ini. Ini sedikit tegang."

Ahmed memang merasa khawatir bahwa menghapus nama Muslim di kampung halamannya adalah langkah untuk menghapus sejarah keluarganya sendiri, identitasnya, yang pada akhirnya mencabut hak warga Muslim India.

  • Keterangan foto: Penggantian nama Allahabad menjadi Prayagraj, menghapus nama kota yang berakar dalam Islam, menggantikannya dengan kata yang merujuk pada situs ziarah Hindu di kota tersebut. Namun Universitas Allahabad tetap mempertahankan nama aslinya. Lauren Frayer / NPR

 

Kisah Pendeta-politikus

Orang di balik perubahan nama Allahabad dan banyak lainnya adalah Yogi Adityanath - seorang pendeta Hindu yang bersemangat dan kepala menteri di negara bagian terpadat di India, Uttar Pradesh. Patut diketahu dengan lebih dari 200 juta penduduk, negara bagian ini lebih besar dari banyak negara bagian di India lainnya.

Adityanath adalah anggota terkemuka dari partai yang berkuasa di era Modi dan pendiri milisi pemuda Hindu. Dia memiliki reputasi untuk menyebar kebencian terhadap minoritas, khususnya Muslim. Dia sering mengecam umat Islam karena diduga melakukan apa yang dia sebut "cinta jihad"  dengan menikahi wanita Hindu.

Adityanath adalah salah satu dari sekian orang nasionalis Hindu paling vokal di India. Mereka berusaha untuk mendefinisikan kembali apa artinya menjadi orang India. Dia mengatakan keyakinan mayoritas Hindu di negara itu harus menjadi pusatnya.

"Kita tidak bisa membiarkan penjajah Muslim dari berabad-abad lalu mendefinisikan kita hari ini!" kata Adityanath mengatakan pada sebuah rapat umum pada tahun 2014. Tahun lalu, ia mengatakan kepada wartawan bahwa siapa pun yang mempertanyakan keputusannya tentang penggantian nama Allahabad dan landmark lainnya artinya tidak boleh "tahu sejarah mereka, tahu tradisi mereka, atau tidak memiliki gagasan tentang budaya mereka, yakni India, yang kaya."

Uniknya, negara bagian di mana Adityanath tinggal, adalah satu dari sekian banyak yang melarang konsumsi daging sapi, karena sapi adalah hewan suci bagi umat Hindu. Namun wilayah ini --UUttar Pradesh -- juga memiliki jumlah insiden kekerasan tertinggi yang dilakukan oleh penjaga sapi, yang menyerang Muslim dan Hindu dari kasta rendah yang berdagang daging di pasar gelap. "Di 12 negara bagian India, setidaknya ada 44 orang - 36 di antaranya Muslim yang tewas dalam kekerasan main hakim sendiri antara Mei 2015 dan Desember 2018," merujuk laporan Human Rights Watch.

  • Keterangan foto: Peziarah berparade menuju tepi Sungai Gangga pada bulan Januari  2019 untuk Kumbh Mela. Furkan Latif Khan / NPR   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement