Kamis 06 Aug 2020 17:17 WIB

PBNU Minta Pemerintah Hentikan Ekspor Benih Lobster

Ekspor benih lobster dinilai merusak biota laut dan merugikan nelayan.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Nashih Nashrullah
Ekspor benih lobster dinilai merusak biota laut dan merugikan nelayan. Ilustrasi lobster.
Foto: Antara/Irwansyah Putra
Ekspor benih lobster dinilai merusak biota laut dan merugikan nelayan. Ilustrasi lobster.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) meminta pemerintah menghentikan ekspor benih lobster. Permintaan tersebut berdasarkan kajian Lembaga Bahtsul Masail yang merujuk pada Alquran, hadist, dan sumber hukum lainnya. 

Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU, KH M Nadjib Hassan, menjelaskan kebijakan ekspor benih lobster, jika berlangsung dalam skala masif sehingga mempercepat kepunahan, bukan hanya benihnya tetapi juga lobsternya, bertentangan dengan ajaran Islam.

Baca Juga

Karena kebijakan demikian berdampak buruk bagi para nelayan yang hidup pada genenarasi setelahnya yang tidak dapat menikmati lobster. "Begitu juga akan berdampak pada pendapatan mereka," katanya, dalam keterangannya kepada Republika.co.id di Jakarta, (6/8).

Di samping itu, hal ini juga bertentangan dengan salah satu tujuan sustainable development pemerintah Indonesia, yaitu melestarikan dan menggunakan samudera, lautan serta sumber daya laut secara berkelanjutan untuk pembangunan berkelanjutan. 

Maka, apabila pengambilan benih lobster dalam skala masif untuk diekspor berpotensi kuat mempercepat kepunahannya dan berakibat pada melahirkan mafsadah atau kerugian bagi generasi mendatang maka hukumnya tidak diperbolehkan. Bahkan ini masuk dalam kategori perusakan pada salah satu biota laut yang diharamkan.   

قَالَ اللهُ تَعَالَى: ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ... (الروم: 41) قَالَ ابْنُ عَبَّاس: اَلْفَسَادُ فيِ الْبَحْرِ انْقِطَاعُ صَيْدِهِ بِذُنُوبِ بَنِي آدَمَ.

"Allah SWT berfirman: ‘Telah tampak kerusakan di darat dan di laut …’ (ar-Rum: 41). Ibnu Abbas berkata: ‘Kerusakan di laut berarti punahnya biota laut sebab kesalahan-kesalahan manusia’." (Ibnu ‘Athiyah, al-Muharrar al-Wajiz, [Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet ke-1, 1413 H/1993 M], juz, IX, h 394).

Lebih lanjut, Kiai Naji menyarankan pemerintah dalam membuat semua kebijakannya harus berorientasi kepada cita kemaslahatan dan kesejahteraan rakyatnya. Karena dalam Islam tidak ada larangan untuk memanfaatkan kekayaan alam yang dimiliki negara sepanjang untuk kemaslahatan rakyatnya. 

"Kebijakan pemerintah membuka kran ekspor benih lobster pada dasarnya diperbolehkan apabila hal tersebut bisa mensejahterakan perekonomian para nelayan dan menambah devisa negara," ujar dia.  

Namun apabila kebijakan pembukaan kran ekspor benih lobster justru akan menimbulkan mafsadah besar bagi keberlanjutan sumberdaya lobster, pendapatan negara dan generasi nelayan selanjutnya, maka kebijakan tersebut tidak bisa dibenarkan dalam pandangan syariat.   

Hal tersebut merujuk pada At-Taghabun ayat 16 yang artinya. "Apabila berkumpul mashlahah dan mafsadah, maka jika memungkinkan tercapainya kemaslahatan dan tercegahnya kemafsadatan, kita harus melakukannya sebagai bentuk menaati perintah Allah dalam hal itu, karena firman Allah SWT: Maka bertakwalah kalian kepada Allah sesuai kesanggupan kalian."

Nadjib mengatakan, pemanfaatan sumber daya alam telah dicontohkan dengan sangat baik oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab. Di mana umar ketika itu berhasil menaklukkan tanah as-Sawad dan al-Ahwaz. "Kaum Muslimin pada saat itu meminta kepada beliau membagikan tanah-tanah itu kepada mereka," katanya.

Namun Khalifah Umar mengambil kebijakan untuk tidak membagikan tanah tersebut kepada kaum muslimin yang turut serta dalam penaklukannya, tetapi justru membiarkannya tetap dikelola penduduk lokal, dengan catatan para penduduk berkewajiban membayar jizyah dan retribusi atas tanah tersebut. 

"Sehingga dari pemasukan jizyah dan retribusi dapat digunakan untuk kepentingan kaum muslimin saat itu dan generasi setelahnya," kataya.

Masalah ekspor benih-benih lobster dari sisi fikih masuk dalam ranah fikih 'ma`alat' yaitu fikih yang melihat dan membandingkan dampak dari perbuatan hukum, baik perbuatan tersebut selaras dengan syariat atau bertentangan dengannya. Sebab, mencermati dampak dari perbuatan hukum merupakan tujuan syariat yang harus diperhatikan sebelum menetapkan status hukum dari perbuatan tersebut. 

Hal ini sebagaimana dipahami dari apa yang kemukakan Imam Asy-Syatibi sebagai berikut:

اَلنَّظَرُ فِي مَآلَاتِ الْأَفْعَالِ مُعْتَبَرٌ مَقْصُودٌ شَرْعًا، كَانَتِ الأَفْعَالُ مُوَافِقَةً أَوْ مُخَالِفَةً. وَذَلِكَ أَنَّ الْمُجْتَهِدَ لَا يَحْكُمُ عَلَى فِعْلٍ مِنَ الأَفْعَالِ الصَّادِرَةِ عَنِ الْمُكَلَّفِينَ بِالْإِقْدَامِ أَوْ بِالْإِحْجَامِ إِلَّا بَعْدَ نَظَرِهِ إِلَى مَا يَؤُولُ إِلَيْهِ ذَلِكَ الفِعْلُ. (فَقَدْ يَكُونُ) مَشْرُوعًا لِمَصْلَحَةٍ فِيهِ تُسْتَجْلَبُ، أَوْ لِمَفْسَدَةٍ تُدْرَأُ، وَلَكِنْ لَهُ مَآلٌ عَلَى خِلَافِ مَا قُصِدَ فِيهِ؛ وَقَدْ يَكُونُ غَيْرَ مَشْرُوعٍ لِمَفْسَدَةِ تَنْشَأُ عَنْهُ أَوْ مَصْلَحَةٍ تَنْدَفِعُ بِهِ، وَلَكِنْ لَهُ مَآلٌ عَلَى خِلَافِ ذَلِكَ. فَإِذَا أُطْلِقُ الْقَوْلُ فِي الأَوَّلِ بِالْمَشْرُوعِيَّةِ، فَرُبَّمَا أَدَّى استِجْلَابُ الْمَصْلَحَةِ فِيهِ إِلَى الْمَفْسَدَةِ تُسَاوِي الْمَصْلَحَةَ أَوْ تَزِيدُ عَلَيْهَا، فَيَكَونُ هَذَا مَانِعًا مِنْ إِطْلَاقِ القَوْلِ بِالْمَشرُوعِيَّةِ. وَكَذَلِكَ إِذَا أُطْلِقَ القَوْلُ فِي الثَّانِي بِعَدَمِ مَشْرُوعِيَّةِ رُبَّمَا أَدَّى استِدْفَاعُ الْمَفْسَدَةِ إِلَى مَفْسَدَةٍ تُسَاوِي أَوْ تَزِيدُ، فَلَا يَصِحُّ إِطْلَاقُ القَوْلِ بِعَدَمِ الْمَشْرُوعِيَّةِ.

“Mencermati dampak dari perbuatan hukum itu merupakan tujuan syariat yang harus diperhatikan, baik perbuatan itu sesuai atau bertetangan dengan syariat. Karena mujtahid tidak boleh menetapkan keputusan hukum atas suatu perbuatan mukallaf baik untuk memerintahkan (al-iqdam) atau untuk melarang (al-ihjam) kecuali setelah melihat dampak dari perbuatan hukum tersebut.

Terkadang sebuah perbuatan disyariatkan karena mengandung mashlahat atau menolak mafsadah, namun perbuatan tersebut memiliki dampak (ma`al) yang bertolak belakang dengan tujuannya. Dan terkadang juga suatu perbuatan tidak disyariatkan karena mengandung mafsadah  atau menolak masalahah, namun perbuatan tersebut memilik dampak yang berbeda dengan tujuan tidak disyariatkannya.

Sehingga apabila yang pertama dikatakan mutlak disyariatkan, maka boleh jadi kemasalahatan yang didatangkan menggiring pada timbulnya kerusakan yang setara dengan kemaslahatan itu sendiri atau bahkan lebih besar. Akibatnya dalam konteks ini tidak boleh mengatakan perbuatan itu secara mutlak disyariatkan. Begitu juga dengan yang kedua, apabila dikatakan secara mutlak tidak disyariatkan,  maka boleh jadi tercegahnya kerusakan mengantarkan kepada kerusakan lain yang sama atau bahkan lebih besar, sehingga tidak sah menyatakan secara mutlak tidak disyariatkan.” (Abu Ishaq asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari’ah, [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet ke-7, 1426 H/2005 M], juz, IV, h. 140)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement