REPUBLIKA.CO.ID, TURKI— Telah dua pekan, Hagia Sophia resmi kembali mengemban status sebagai tempat peribadatan umat Muslim.
Di balik euforia dan protes yang bermunculan, Hagia Sophia selalu menjadi ikon perkembangan dan perubahan ideologi Turki.
Penaklukan Istanbul dan Hagia Sophia menandakan transisi pemerintahan Ottoman ke sebuah kekaisaran dan merupakan perwakilan dari warisan budaya dan politik yang luas yang berkembang pada periode pascapenaklukan, yang berpuncak pada masa keemasan Ottoman.
Dengan demikian, simbolisme dari langkah ini tidak dapat digarisbawahi dengan ukuran apapun karena itu adalah reklamasi mantel dari pengalaman peradaban Turki Utsmani yang luas.
Kembalinya Masjid Agung Hagia Sophia tak dapat dimungkiri membangkitkan cibiran dan kritik beberapa pihak. Berita utama dibanjiri pers Barat dengan frasa seperti "Turki menghapus masa lalu Kristennya" atau "Erdogan mengubah katedral kuno menjadi masjid."
Batu Coşkun, Kandidat Politik Komparatif MSc di London School of Economics berpendapat, penonton Barat yang mencoba memberi pelajaran pada Turki tentang multikulturalisme, lupa bahwa Turki telah dengan hati-hati memulihkan rumah ibadah Utsmaniyah milik semua agama.
"Dorongan Turki untuk menganggap keaslian dan makna rumah ibadah tidak dimulai dan diakhiri dengan masjid saja, tetapi lebih mencakup sebagian besar tempat-tempat ibadah sebelumnya yang membentuk lanskap Turki," tulis Coşkun yang dikutip di Daily Sabah, Ahad (2/8).
Menurutnya, Turki adalah negara penerus dari Kerajaan Ottoman multi-pengakuan dan berupaya untuk hidup sesuai dengan warisan itu. Semangat eksistensi multi etnis, multi-pengakuan yang datang untuk mendefinisikan pemerintahan kekaisaran Ottoman telah diberikan kesempatan baru untuk hidup di bawah upaya tulus Turki untuk memulihkan gereja, sinagog, dan masjid.
Baru-baru ini, pada 2018, Gereja Santo Stefanus, atau dikenal dengan sebutan Gereja Besi, dipulihkan dan kemudian diresmikan oleh Presiden Recep Tayyip Erdogan dan Perdana Menteri Bulgaria Boyko Borisov. Proyek restorasi menelan biaya lebih dar 4 juta dolar Amerika Serikat, dengan sebagian besar pembiayaan di bawah naungan pihak berwenang Turki.
Kondisi gereja yang telah terbengkalai begitu saja, dan mengalami korosi parah karena sifat basah garis pantai Bosporus, telah dikembalikan ke spesifikasi aslinya. Langkah ini menandakan betapa cermat Turki bekerja untuk melestarikan warisan Utsmaniyah, baik warisan Islam atau Kristen. "Hari ini gereja adalah bukti etos Istanbul dan Turki yang multikultural," tulisnya.
Coşkun beranggapan, kini merupakan momen dimana Turki mengalami kebangkitan karakter multikulturalnya yang selama ini belum pernah terjadi. Kepedulian untuk mengembalikan fungsi situs-situs peninggalan Ottoman, baik Masjid Agung Hagia Sophia maupun Gereja Santo Stefanus, adalah produk kebijakan yang sama.
Bukan hanya masjid dan gereja. Upaya restorasi Turki juga memuncak dengan pembukaan Sinagog Agung Edirne pada 2015. Sinagog, yang dibuka pada 1907, di bawah dekrit Ottoman untuk mengakomodasi kebutuhan komunitas Yahudi yang berkembang di Edirne, dibiarkan membusuk setelah 1940-an.
"Dengan imigrasi ke Israel yang semakin cepat, komunitas Yahudi meninggalkan Edirne, dan sinagoge mulai menutup pintunya sejak 1983, menyisakan monumen besar yang suram," jelas Coşkun.
Dengan upaya pemulihan yang dilakukan Turki pada tahun 2000-an, gedung itu diresmikan dalam sebuah upacara yang dihadiri oleh pejabat pemerintah dan perwakilan dari komunitas Yahudi di Turki. Hari ini, sinagog berfungsi penuh dan mengingatkan kembali kehadiran Yahudi yang pernah menjadi bagian dari lanskap Edirne.
Kembali ke Masjid Agung Hagia Sophia, yang sejak diresmikan telah ditegaskan akan terus membuka pintu bagi seluruh agama.
Seperti pernyataan Menteri Urusan Agama, Ali Erbaş, pada saat shalat Jumat pertama di Masjid Agung Hagia Sophia, yang menegaskan bahwa pintu-pintu Hagia Sophia terbuka untuk semua agama, seperti halnya dengan semua masjid di Turki.
"Sementara para komentator Barat melanjutkan misi mereka untuk menghadirkan gerakan ini sebagai agresi terhadap agama Kristen, mereka secara tidak sengaja menegakkan sebuah “Clash of Civilizations” seperti wacana," tulis Coşkun.
Menurutnya, kebenaran dari masalah ini adalah bahwa peradaban Turki yang Multikultural, dimana non-Muslim memiliki tempat yang sama dengan Muslim. Karena kebijakan pemulihan dan pengembalian fungsi rumah ibadah bukan hanya terjadi pada Hagia Sophia, namun sejumlah rumah ibadah lainnya.
"Barat telah kehilangan monopoli atas gagasan multikulturalisme. Katarsis yang dihadapi masyarakat Barat setelah gerakan Black Lives Matter dan diskusi baru-baru ini tentang persistensi rasisme institusional telah mengungkap fakta ini,"ujar dia.
Sumber: https://www.dailysabah.com/opinion/op-ed/a-mosque-a-church-and-a-synagogue