REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketika dalam masa pengasingan di Ende (1934-1939), presiden pertama RI Soekarno atau akrab disapa Bung Karno tak henti-hentinya memperkaya pemikirannya. Meski terasing jauh dari hiruk-pikuk politik dan pergerakan, namun jiwanya justru dekat dengan nasionalisme dan Islam.
Dalam pengasingan itu, salah satu aktivitas Bung Karno adalah surat-menyurat dengan kawan-kawan pergerakan serta koleganya.
Dia selalu minta dikirimi surat beserta buku dari kawan-kawannya itu. Bung Karno pun membalas surat-surat itu.
Salah satu surat yang dibahas di dalam bukunya berjudul Islam Sontoloyo adalah mengenai perasaan gembiranya yang dikirimi buku berjudul Islam di Tanah China dalam bahasa Indonesia.
Menurut Bung Karno, buku itu adalah contoh buku yang thorough (komprehensif/cermat). Maka alangkah baiknya dia berpendapat akan ada banyak buku-buku semacam itu di perpustakaan Indonesia.
“Barangkali nanti kita punya intelligentzia tidak senantiasa terpaksa mencari makanan rokh dari buku-buku asing saja. Ini tidak berarti, bahwa saya tak mufakat orang baca buku asing. Tidak! Semua buku ada faedahnya, makin banyak baca buku, makin baik. Walau buku bahasa Hottentot- pun baik kita baca,” kata Bung Karno dalam suratnya di Ende, tertanggal 18 Agustus 1936.
Namun demikian, Bung Karno pun menganjurkan agar buku-buku, terutama yang bernafaskan Islam karena saat itu beliau terus mengkaji Islam, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sebab sangat disayangkan apabila masyarakat yang menuju Indonesia itu memiliki pengetahuan Islam, tapi tidak menuliskannya ke dalam sebuah buku berbahasa Indonesia.
“Kita punya peri kehidupan Islam, kita punya ingatan-ingatan Islam, kita punya ideologi Islam. Sangatlah terkurung oleh keinginan mengcopy 100 persen segala keadaan-keadaan dan cara-cara dari zaman Rasulullah SAW dan khalifah yang besar. Sebab masyarakat bukanlah barang yang mati. Mereka hidup, mengalir, dan dinamis,” kata Bung Karno.