Sabtu 18 Jul 2020 19:43 WIB

Mimpi Toleransi Pakistan dan Dilema Hadapi Ekstrem Kanan

Pakistan tengah menghadapi dilema hadapi minoritas dan ekstrem kanan.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nashih Nashrullah
Pakistan tengah menghadapi dilema hadapi minoritas dan ekstrem kanan. Bendera Pakistan
Pakistan tengah menghadapi dilema hadapi minoritas dan ekstrem kanan. Bendera Pakistan

REPUBLIKA.CO.ID, PESHAWAR – Saat ini menjadi momen yang cukup menyulitkan bagi minoritas agama di Pakistan. Masa-masa yang lebih sulit di masa depan akan terjadi ketika Perdana Menteri, Imran Khan, bimbang menerapkan antara mencoba memadukan negara yang majemuk dan prinsip agama yang konservatif.

Analis dan aktivis Pakistan menyatakan kondisi tersebut terjadi karena sikap Khan yang ragu-ragu. Mereka mengatakan, Perdana Menteri mengatakan visi Pakistan yang toleran, ketika minoritas agama berkembang dengan setara di antara mayoritas Muslim, tetapi nyatanya tidak seperti itu.

Baca Juga

Kondisi ini dibuktikan dengan pada saat yang sama Khan menyerahkan kekuasaan kepada ulama Islam yang ekstrem kanan. Khan memilih tunduk pada tuntutan dan keinginan mereka, termasuk memutuskan permasalahan negara. 

"Imran Khan tidak diragukan lagi menginginkan Pakistan yang lebih toleran, menginginkan lebih banyak akomodasi untuk minoritas, tetapi masalahnya dia membatalkan semua ini dengan memberdayakan elemen-elemen ekstremis, sedemikian rupa sehingga tampaknya mereka dapat mendikte negara," kata analis dan penulis dua buku yang melacak militansi di Pakistan, Zahid Hussain.

Juru bicara Kementerian Urusan Agama Pakistan, Imran Siddiqui, menepis klaim bahwa kaum minoritas memiliki alasan kuat untuk merasakan khawatir. 

Dia mengatakan, dalam setiap agama ada ulama agresif, tetapi pemerintah Pakistan maupun perdana menteri tidak mendapatkan tekan berlebihan oleh mereka. 

Namun, daftar masalah Khan untuk keputusan ekstrem kanan masih panjang. Ketika virus korona pertama kali muncul sebagai ancaman, Khan menolak untuk menutup pertemuan puluhan ribu Muslim dari seluruh dunia.

Ketika Arab Saudi menutup masjid-masjidnya dan membuat keputusan bersejarah untuk membatalkan ibadah haji bagi Muslim dari luar, Pakistan menolak untuk menutup masjid-masjidnya. 

Keputusan ini diambil setelah beberapa oknum pemimpin agama Islam kanan mengancam akan melakukan unjuk rasa. Khan juga mendapat kecaman ketika awal bulan ini di Parlemen awal menyebut dalang 9/11 Osama bin Laden sebagai martir. 

Khan bukan politisi pertama yang berjalan di atas tali religius di Pakistan. Pemerintahan militer dan pemerintah yang terpilih secara demokratis telah menghadapi tekanan dari para ekstremis Islam. 

Menurut para kritikus, mereka meneror dengan membawa gerombolan yang berapi-api ke jalanan. "Ini adalah ketakutan akan apa yang bisa mereka lakukan. Mereka dapat menyebabkan kekacauan di Pakistan," kata aktivis HAM, Tahira Abdullah.

Khan, seperti pemerintah sebelumnya, telah mencoba menghadirkan citra Pakistan sebagai negara yang melindungi kaum minoritas. Dia bahkan mengizinkan akses bebas visa bagi penganut Sikh dari India untuk mengunjungi salah satu situs tersuci di Pakistan.

Tapi, Direktur Eksekutif Institut Studi Perdamaian Pakistan yang berbasis di Islamabad, Amir Rana, mengatakan inisiatif itu sebagian besar simbolis, bukan struktural. "Mereka tidak memiliki keberanian politik atau modal politik untuk menantang unsur-unsur agama radikal yang menargetkan minoritas agama," katanya.

Komisi Kebebasan Beragama Internasional Amerika Serikat mendeklarasikan Pakistan sebagai negara dengan perhatian khusus dalam laporan 2020 yang dirilis bulan lalu. Peringatan ini dikeluarkan karena perlakuan negara tersebut terhadap minoritas.  

"Pakistan masih memiliki jalan panjang untuk mencapai visi perdana menteri yang menyatakan Pakistan yang lebih toleran," ujar anggota Komisi Kebebasan Beragama Internasional Amerika Serikat, Nadine Maenza. 

 

Sumber: https://apnews.com/796138f9b99b6104ea59705aa96749ce

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement