REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: DR Dipo Alam, Sekretaris Jenderal D-8 Organization for Economic Cooperation (D-8), berkantor di Istanbul, Turki (2007-2010)
Pada 10 Juli lalu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan secara resmi mengumumkan bahwa Hagia Sophia di Istanbul akan kembali dibuka sebagai masjid untuk umat Islam. Keputusan itu sontak memancing reaksi dan polemik di seluruh dunia.
Sayangnya, para pengamat politik umumnya menilai keputusan tersebut melalui kacamata tunggal saja: semua itu hanya demi kepentingan politik Erdogan menghadapi pemilu 2023. Padahal, dalam kasus Hagia Sophia, menurut saya Erdogan sedang bermain di panggung yang jauh lebih besar.
Dewan Negara Turki (Turkey’s Council of State), yang merupakan pengadilan administrasi tertinggi, awal Juli lalu memang telah menerima argumen banding yang mendesak pembatalan keputusan Dewan Menteri (Council of Ministers) tanggal 24 November 1934, yang telah mengubah Hagia Sophia dari masjid agung menjadi museum. Dengan demikian, Hagia Sophia kembali dibuka sebagai tempat ibadah bagi kaum muslim.
Tuntutan hukum itu sendiri sebenarnya bukan baru saja diajukan, tetapi telah berproses sejak 2005 silam. Sebuah lembaga swadaya masyarakat di Istanbul, The Association of Foundations and Service to Historical Artefacts and the Environment, telah mengajukan petisi di Dewan Negara yang meminta pembatalan keputusan untuk mengubah Hagia Sophia menjadi museum.
- Keterangan foto: Dipo Alam bersama Presiden Erdogan di Istana Kepresidenan Turki.
Menurut putusan Dewan Negara pekan lalu, berdasarkan akta pendirian Fatih Sultan Mehmet Foundation yang diajukan pengacara dalam bandingnya, Hagia Sophia dimiliki oleh yayasan yang didirikan oleh Sultan Mehmet II dan diwakafkan sebagai sebuah masjid. Menurut Dewan Negara, keputusan tersebut tidak dapat diubah secara hukum, kecuali oleh pendirinya. Yurisprudensi hukum Islam memang melarang perubahan akta atau piagam sebuah lembaga tanpa konsultasi dan persetujuan dari pemiliknya, sebuah prinsip perdata yang sejak lama juga telah diadopsi oleh hukum modern.
Perubahan status Hagia Sophia kembali menjadi masjid itu tentu saja segera memancing kontroversi. Dunia Barat umumnya tidak senang dengan keputusan tersebut. Perubahan status itu dianggap telah dan akan menyinggung perasaan umat Kristen dunia, khususnya golongan Kristen Ortodoks. Sebab, saat pertama kali dibangun oleh Kaisar Bizantium, Justinian I, pada tahun 532 hingga 537, Hagia Sophia semula dimaksudkan sebagai gereja katedral.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, Morgan Otagus, misalnya, menyatakan kekecewaannya atas perubahan status tersebut. Menteri Luar Negeri, Mike Pompeo, secara verbal bahkan meminta Turki untuk tetap mempertahankan Hagia Sophia sebagai museum. Senada dengan Amerika Serikat, juru bicara pemerintah Yunani, Stelios Petsas, mengatakan bahwa perubahan Hagia Sophia akan menciptakan jurang emosional yang besar antara orang-orang Kristen di dunia dengan orang-orang Turki.
Ungkapan ketidaksenangan Amerika dan Yunani ini sangatlah bisa dipahami, mengingat penduduk Amerika Serikat dan Yunani memang banyak yang berlatar belakang Kristen Ortodoks.
Menariknya, pemerintah Rusia, yang sebagian besar warganya juga menganut Kristen Ortodoks, bersikap lebih kalem dan diplomatis. Saya baca, Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Vershinin, menyatakan jika perubahan status Hagia Sophia menjadi masjid adalah urusan internal Turki. Pemerintah Rusia berpandangan bahwa tidak seorang pun boleh ikut campur dalam keputusan itu.
Saya kira, sikap Rusia yang menghormati kedaulatan Turki atas Hagia Sophia pantas dijadikan rujukan oleh pemerintah Indonesia. Di tengah kritik dan kontroversi mengenai perubahan status Hagia Sophia, kita memang tak boleh mengabaikan sikap saling menghormati tadi. Apalagi, sebagai sesama negara muslim, kita juga memahami bahwa bagi bangsa Turki, Hagia Sophia memang lebih dari sekadar museum atau masjid. Bagi mereka, Hagia Sophia adalah salah satu simbol identitas kebangsaan.
Bangsa Turki modern bagaimanapun menyandarkan identitas sejarahnya pada Kesultanan Ottoman, daripada kepada Kekaisaran Bizantium, atau Romawi Timur, yang secara historis dan kultural kini menjadi Yunani. Dalam konteks historis inilah, Hagia Sophia sebagai gereja adalah simbol “kekalahan” Turki atas Romawi pada abad pertengahan. Sementara, Hagia Sophia sebagai museum adalah simbol kekalahan Turki atas Sekutu dalam Perang Dunia I.
Posisi Hagia Sophia sebagai simpul identitas kebangsaan inilah yang banyak dilupakan oleh para pengamat. Mereka hanya melihat Hagia Sophia dari langgam politik Erdogan semata, dan melupakan imajinasi politik bangsa Turki secara umum. Menilai Hagia Sophia hanya sebagai simbol politik Islam jelas adalah sebuah kekeliruan.