REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ihsanul Mutaqin
Imam Malik dalam Al-Muwattha' meriwayatkan Nabi Muhammad SAW pernah mengirim 'Abdullah ibn Rawahah berangkat ke Khaibar (daerah Yahudi yang tunduk pada kekuasaan Islam) untuk memungut kharaj dari hasil tanaman kurma mereka. Rasulullah SAW telah memutuskan hasil bumi Khaibar dibagi menjadi dua; separuh untuk kaum Yahudi sendiri yang mengolahnya dan separuhnya lagi diserahkan kepada kaum Muslimin.
Ketika 'Abdullah ibn Rawahah menjalankan tugasnya, orang-orang Yahudi mendatangi beliau. Mereka mengumpulkan perhiasan istri-istri mereka dengan niat untuk menyogok. Mereka berkata, "Ini untukmu dan peringanlah pungutan yang menjadi beban kami. Bagilah kami lebih dari separo.
'Abdullah ibn Rawahah kemudian menjawab, "Hai orang-orang Yahudi, dengarkanlah! Bagiku, kalian adalah makhluk yang dimurkai oleh Allah. Aku tidak akan membawa perhiasan itu dengan harapan aku akan meringankan (pungutan) yang menjadi kewajiban kalian. Suap yang akan kalian berikan ini sesungguhnya merupakan suht (harta haram). Sungguh, kami tidak akan memakannya."
Dalam riwayat lain dikisahkan tentang sikap Umar ibn al-Khattab yang pada saat itu menjadi penguasa negara Islam dalam melaksanakan praktik-praktik kesederhanaan hidup. Umar memakai pakaian bertambal yang sulit membedakannya secara fisik dengan gaya hidup masyarakat umum yang dipimpinnya.
Beliau pun pantang menikmati kelezatan makanan jika kebanyakan rakyatnya belum merasakannya. Pada suatu hari, Umar menerima bingkisan makanan dari pembesarnya di daerah. Kepada utusan itu, Umar menanyakan, "Apa ini?"
"Makanan ini biasa dibikin oleh penduduk Azerbaijan," ujar utusan itu, "dan sengaja dikirim untuk Anda dari 'Atabah ibn Farqad (gubernur Azerbaijan)."
Umar mencicipinya dan rasanya enak sekali. Beliau bertanya lagi kepada utusan tersebut, "Apakah seluruh kaum Muslim di sana menikmati makanan seperti ini?"
"Tidak, makanan ini hanya untuk golongan tertentu," jawab utusan itu.
Umar menutup kembali wadah makanan itu dengan rapi, kemudian bertanya pada utusan, "Di mana untamu? Bawalah kembali kiriman ini serta sampaikan pesan Umar kepadanya, 'Takutlah kepada Allah dan kenyangkanlah kaum Muslim terlebih dahulu dengan makanan yang biasanya kamu makan',"
Sebagai khalifah, Umar pun dikenal sangat menekankan prinsip kesederhanaan terhadap pejabat bawahannya. Khuzaymah ibn Tsabit berkata, "Jika Umar mengangkat seorang pejabat, ia akan menuliskan untuknya perjanjian dan akan mensyaratkan kepada pejabat itu untuk: tidak mengendarai kuda (yang pada waktu itu menjadi kendaraan mewah); tidak memakan makanan yang berkualitas tinggi; tidak memakai baju yang lembut dan empuk; dan tidak pula menutup rumahnya bagi orang-orang yang membutuhkan dirinya. Jika itu dilakukan, ia telah bebas dari sanksi."
Sikap dari kedua pejabat negara yang dikisahkan di atas tentunya menjadi jaminan bahwa memang korupsi tak pernah ada atau paling tidak akan sangat jarang ditemukan ketika Islam telah mewarnai kehidupan kenegaraan. Hal ini lebih diperkuat lagi dengan sistem sanksi Islam untuk para koruptor, seperti yang disebutkan Abdurrahman al-Maliki dalam Nizham al 'Uqubat, yaitu dapat dikenai hukum ta'zir 6 bulan hingga 5 tahun. Apabila jumlah yang dikorupsi dapat membahayakan ekonomi negara, maka koruptor tersebut dapat dijatuhi hukuman mati.