REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Kehormatan Presidium Inter Religious Council (IRC) Indonesia, Prof Dr Din Syamsuddin menyampaikan persoalan terkait Pancasila saat ini adalah pada pengamalannya, baik oleh individu, kelompok masyarakat, dan bahkan oleh negara. Dia juga menyadari ini menjadi tantangan berat.
"Tantangan kita berat karena pengamalan Pancasila itu belum menjadi kenyataan oleh individu, kelompok, organisasi, masyarakat, bangsa dan yang paling penting itu oleh negara ketika menyelenggarakan pembangunan, agar jangan sampai bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri," kata dia dalam percakapan virtual para tokoh lintas agama bertajuk 'Pancasila Sebagai Kristalisasi Nilai-Nilai Agama, Tantangan Pengamalan', yang digelar IRC Indonesia pada Selasa (30/6).
Din menuturkan, proses pembangunan nasional, pembentukan undang-undang dan kebijakan pemerintah itu harus mengandung nilai-nilai Pancasila dan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Menurutnya, inilah yang menjadi masalah sekarang.
"Apakah sistem politik yang kita terapkan sekarang sudah sesuaikah dengan nilai Pancasila khususnya sila keempat. Apakah sistem ekonomi kita sekarang yang masih membawa kesenjangan ekonomi sudah sesuai dengan sila kelima dari Pancasila, ini pertanyaan yang patut kita ajukan," katanya.
Untuk setiap individu dan kelompok, Din menyampaikan tidak perlu ada lagi tawaran-tawaran dasar negara lain termasuk yang berdasarkan agama apapun istilahnya. Dia menyebutkan, tidak perlu ada negara agama karena Pancasila sudah mengandung nilai-nilai agama.
Dalam perspektif para pemuka agama pada Musyawarah Besar Pemuka Agama untuk Kerukunan Bangsa (MBPA-UKB), disepakati bahwa Pancasila adalah kristalisasi nilai-nilai agama dan pengakuan teologis bahwa di dalam Pancasila terkandung nilai-nilai semua agama.
"Dengan agama maka Pancasila akan tegak, tanpa agama Pancasila akan retak. Karena itu, kewajiban pemeluk agama untuk mempertahankan Pancasila, menjaganya sekuat- kuatnya dari berbagai upaya memberikan tafsir lain, apalagi bersifat reduksionis, menyempitkan Pancasila," ucapnya.
Din juga mengingatkan, dari kesepakatan para pemuka agama itu, maka terhadap kelompok yang ingin mengganti Pancasila perlu dilakukan dialog yang persuasif, termasuk pendidikan dan pencerahan. Dia juga menegaskan, Pancasila tidak perlu diubah atau diutak-atik yang akan membawa pada perpecahan.
"Terhadap kelompok masyarakat yang memiliki pikiran lain, yang bertendensi mengubah Pancasila, pesan dari pemuka agama agar dilakukan dialog yang persuasif. Kita kedepankan dialog. Kita harus percaya dengan kekuatan dialog. Ini yang harus kita dialogkan, sehingga tidak perlu lagi main ngotot-ngototan," ujarnya.
Agenda percakapan virtual itu dihadiri beberapa tokoh agama. Di antaranya, Ketua Komisi Hubungan Antar Keyakinan Konferensi Waligereja Indonesia Agustinus Heri Wibowo, Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia Pdt Jacky Manuputty, Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia Budi S Tanuwibowo, Ketua PP Permabudhi Philip K. Widjaja, Ketua Bidang Hukum dan HAM Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat Yanto Jaya, Sekretaris Umum Muhammadiyah Abdul Mu'ti, dan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Marsudi Syuhud.