REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kematian pria Afrika-Amerika George Floyd di tangan polisi kulit putih telah membangkitkan aksi protes yang meluas di Amerika. Dalam beberapa pekan terakhir, banyak komunitas Muslim di AS juga bergabung dalam demonstrasi menuntut keadilan rasial.
Tidak hanya itu, banyak khutbah, pernyataan, dan webinar yang mengecam rasisme di negeri Paman Sam tersebut. Banyak pula diskusi yang digelar tentang rasisme di AS.
Muslim Amerika, kulit hitam dna non-kulit hitam, juga melakukan percakapan ketika mereka bergulat dengan pertanyaan tentang kesetaraan ras, ketegangan dan perwakilan di komunitas agama mereka sendiri. Dalam suatu diskusi, perempuan bernama Hind Makki mengenang saat ia masih menjadi seorang pelajar muda, beberapa orang di sekolah Islam yang dia ikuti dengan santai menggunakan kata Arab yang berarti 'budak' untuk merujuk pada orang kulit hitam. Ia mengungkapkan, 85 persen dari masa hidupnya, tanggapan yang akan ia dapatkan dari orang-orang adalah menyinggung tentang warna kulit hitam. Makki sendiri dikenal sebagai Muslim Arab berkulit hitam.
"Itu adalah situasi lain yang sepenuhnya tentang anti-kulit hitam, khususnya terhadap orang Afrika-Amerika," kata Makki, saat diskusi panel virtual tentang ras, dilansir di The Detroit News, Senin (29/6).
Makki yang juga seorang anti-rasisme dan pendidik antar agama itu mengatakan, bahwa semua orang membicarakan tentang rasial di AS. Seperti dari pamannya yang juga sudah ada di AS sejak awal 70an, dan merupakan seorang pensiunan dokter di suatu tempat dan pensiunan anggota dewan masjid.
"Pertanyaan itu perlu didorong lebih jauh dari sekedar kata-kata, cercaan apa yang anda gunakan, mana yang tidak harus anda gunakan. Bagaimana kita bisa mencapai kesetaraan, di ruang yang sebenarnya bisa kita ubah?" lanjut Makki.
Muslim di Amerika beragam. Menurut survei pada 2017 oleh Pew Research Center, tidak ada kelompok ras atau etnis yang membentuk mayoritas orang dewasa Muslim Amerika, dan 20 persennya adalah kulit hitam. Direktur eksekutif Muslim Anti-Racism Collaborative, Margari Hill, mengatakan ia telah melihat gelombang minat, pertanyaan, dan permintaan dari komunitas Muslim untuk keahliannya.
Pertanyaan itu mencakup bisakah dia melihat pernyataan atau memberikan topik untuk suatu program, apakah ada sumber daya dalam bahasa Arab atau bahasa Bengali, apalah lebih tepat mengatakan orang Amerika berkulit hitam atau Afrika, dan bisakah ia berbicara tentang anti-kulit hitam.
"Sudah banyak yang menyerukan cerminan yang mendalam. Kami meminta orang-orang untuk berkomitmen, seperti, meninggalkan, yang anda tahu, dan membangun hubungan sejati yang bertahan melampaui saat ini," kata Hill.
Hill mengatakan, beberapa pengalaman dalam hidup terasa melelahkan. Dia ingat betul ketika ia disebut sebagai 'budak' dalam bahasa Arab di toko Muslim. Suatu kali, ia ditanya apakah ia benar-benar bisa membaca Alquran yang ingin ia beli.
"Tidak ada yang ingin demikian. Anda tahu, merasa seperti mereka harus membenarkan kemanusiaan atau iman mereka," ujarnya.
Direktur eksekutif Dewan Hubungan Amerika-Islam cabang Michigan, Imam Dawud Walid, mengatakan bahwa keterbukaan dari berbagai sudut komunitas Muslim untuk melakukan percakapan tentang rasial dengan cara yang benar-benar kuat belum pernah terjadi sebelumnya. Menurutnya, hal itu patut dipuji.
"Tantangannya adalah ketika protes akhirnya gagal dan bencana berikutnya menghantam negara kita, akankah pembicaraan berlanjut di dalam komunitas Muslim?" ujar Walid.
Agar tidak menjadi momen yang sekejap, ia mengatakan bahwa susunan kepemimpinan pada organisasi Islam nasional harus lebih representatif. Karena itu, ia turut menyerukan lebih banyak pembicara dari Muslim kulit hitam dan tidak hanya berbicara tentang ras atau hanya selama Bulan Bersejarah Kulit Hitam. Menurut Walid, Islam telah mengirim pesan yang jelas tentang egalitarianisme.
Pada organisasi Islamic Society of North America (ISNA), dikatakan bahwa dewan dari 10 direktur terpilih saat ini tidak memiliki perwakilan dari orang Afrika-Amerika. Namun demikian, direktur eksekutif organisasi tersebut, Basharat Saleem, mengatakan bahwa pihaknya telah berupaya untuk meningkatkan keragaman, meski diakuinya masih banyak hal yang harus diselesaikan.
Ia mengatakan, Muslim Afrika-Amerika telah diwakili dengan baik sebagai pembicara di acara-acara ISNA. Namun, kehadiran dari orang-orang di komunitas itu pada konvensi tahunan masih rendah.
"Kita harus melakukan lebih banyak pekerjaan pada dasarnya untuk menjangkau masyarakat. Juga, hal yang sama harus terjadi dari komunitas itu," kata Saleem.
Melalui sesuatu seperti hastag seni dan media sosial, banyak Muslim kulit hitam yang telah berupaya untuk memperkuat cerita mereka dalam beberapa tahun terakhir. Mereka juga menyoroti narasi bahwa banyak dari mereka yang disebut telah dibayangi oleh Muslim lainnya. Beberapa lainnya merenungkan bagaimana rasanya menjadi orang kulit hitam dan Muslim.
Rasisme juga dirasakan oleh Ubaydullah Evans, cendekiawan pada American Learning Institute for Muslim. Ia mengungkapkan, dirinya mengalami rasisme antar pribadi dari beberapa Muslim. Namun, Muslim non-kulit hitam lainnya selalu berusaha membangun komunitas dan membangun hubungan dengan orang Afrika-Amerika.
Selama bertahun-tahun, telah ada upaya untuk membangun jembatan. Baru-baru ini beberapa orang telah berjanji untuk tidak menggunakan kata Arab untuk 'budak'.
Sementara yang lainnya memfokuskan diskusi tentang bagaimana meningkatkan hubungan antara pemilik toko Arab dan Muslim dengan komunitas kulit hitam yang mereka layani. Banyak organisasi Muslim Amerika yang ikut menuntut reformasi polisi dan bertekad untuk mendukung kelompok yang dipimpin orang kulit hitam.
Langkah kaum muda Muslim untuk menantang ketimpangan rasial itu dipuji oleh Evans. Ia mengharapkan kemajuan yang baik, meskipun menurutnya beberapa Muslim Amerika berkulit hitam telah begitu terluka, sehingga sulit bagi mereka untuk mengumpulkan kepercayaan itu.
Sylvia Chan-Malik, yang mengajar tentang ras dan Islam di Amerika di Rutgers University, mengatakan bahwa sejumlah ketegangan berasal dari pandangan yang berbeda tentang Amerika. Banyak Muslim Afrika-Amerika, secara historis, melibatkan Islam sebagai penolakan rasisme anti-Hitam dan telah lama memandang polisi sebagai ancaman bagi komunitas kulit hitam.
"Sementara itu, beberapa imigran benar-benar ingin percaya pada janji Amerika dan memiliki keyakinan pada sistem tersebut," katanya.
Chan-Malik berpendapat, bahwa sejarah Islam di AS terpinggirkan. Sehingga muncul kesalahpahaman oleh beberapa orang tentang Muslim Afrika-Amerika, yang berpandangan bahwa mereka semua itu mualaf atau mempraktikkan bentuk Islam yang tidak asli.
"Islam memasuki negara ini sebagai kehadiran agama melalui tubuh, budaya, suara dan perspektif orang Afrika yang diperbudak. Anda tidak bisa memisahkan Islam di Amerika dari pengalaman orang Afrika-Amerika," ujar Chan-Malik.
Sementara itu, pada panel virtual baru-baru ini tentang sejarah Muslim kulit hitam Amerika dan mengatasi rasisme, Imam Jihad Saafir mengatakan ia berharap dan bahagia tentang respon umat Islam. Pasalnya, beberapa imam telah mengatakan kepadanya bahwa mereka ingin belajar lebih banyak dan lebih memahami rasisme. Dia lantas mengungkapkan, pihaknya berencana untuk mengirim imam dari kalangan Afrika-Amerika ke berbagai masjid di California selama sehari.
"Kenikmatan Allah terletak pada kita membangun komunitas dengan satu sama lain," kata sang imam.