REPUBLIKA.CO.ID, Imam Al-Ghazali memberi perhatian tersendiri pada persoalan terlena. Yakni keterlenaan dari mengingat Allah SWT(ghaflah).
Dalam tuntunannya bagi mukmin teguh yang ingin meniti ke jalan makrifat, Ghazali, dalam kitabnya Ihya Ulumiddin menyebut dua tahap besar yang harus dilakukan.
Pertama, tahapan menyucikan hati. Kedua, tahapan menenggelamkan diri ke dalam pendekatan pada Allah Sang Pencipta. Aspek ghaflah adalah soal yang sudah harus dibereskan dalam tahap pertama tersebut.
Di tahap pertama, di tahap penyucian hati, taubatlah yang mesti ditempuh. Taubat akan membebaskan hati dari segala kotoran dosa. Hati yang telah terbebaskan dari serakan noda-noda dosa, hati yang telah dijernihkan, hati yang disucikan yang akan dapat menuntun kita ke tahap lebih tinggi dalam perjalanan menuju makrifat.
Maka, berbagai keutamaan beristighfar tak pernah henti untuk dikemukakan. Bagi pendamba sejati jalan menuju ke haribaan Allah SWT, taubat dari dosa semacam itu belumlah mencukupi. Bagi mereka, yang juga harus ditaubatkan adalah hal-hal yang melahirkan dosa.
Faktor utama yang melahirkan dosa itu adalah ghaflah. Seorang yang terlena dari mengingat Allah, seorang yang sesaat kehilangan kesadaran bahwa dirinya selalu berada dalam pantauan Allah, akan dapat tergelincir dalam lumpur dosa saat itu pula.
Sebaliknya seorang yang tengah mengingat Allah akan cenderung terbimbing untuk mengikuti jalan-jalan lurus yang ditunjukkanNya. Sedemikian berharga kepentingan untuk menjaga diri agar tidak terlena tersebut. Kalangan sufi banyak yang memilih mengambil jarak dari hal-hal yang dapat menimbulkan keterlenaan.