REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.
Setelah awal tahun ini, muncul ketegangan setelah adanya statement dari kepala Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) soal 'Agama Lawan Pancasila', kini masalah yang hampir mirip muncul kembali. Kini isunya lebih heboh, yakni soal pengaturan Pancasila dalam bentuk sebagai ideologi negara terkait soal adanya RUU Haluan Indelogi Pancasila.
Publik kian heboh karena RUU tersebut tak mencantumkan Tap MPRS no 25 tahun 1966 yang mengatur pelarangan Pancasila. Ini makin seru karena di RUU tersebut terindikasi pula adanya pemakaian istilah yang berbau ala Soekarno seperti Tri Sela hingga eka sila.
Dan dipastikan dapat ditebak, segala ini meletupkankontroversi dan debat panas. Luka lama yang bertahun dan mulai hilang, segala kekhawatiran yang sudah terkubur, seakan bangkit kembali. Apalagi entah karena apa di tengah suasana pandemi muncul isu tersebar soal kebangkitan komunis (Partai Komunis Indonesia).
Alhasil, debat panas pada dekade sebelumnya soal hubungan Pancasila dan agama berhamburan di publik, khususnya umat Islam. Ormas Islam sampai MUI bersikap keras menolak RUU Haluan Ideologi Pancasila. Partai-partai di parlemen hingga kalangan salin berinterasi dengan isu ini.
Maka, mau tidak mau, segala keriuhan ini kembali akan mengingatkan kisah ketegangan soal dasar negara pada era Orde Lama dan Orde Baru. Debat perseteruan klasik antara Masyumi dan PKI pada masa rezim Sukarno hingga soal ketegangan politik ketika hendak diberlakukannya asas tunggal pada masa rezim Soeharto pun muncul bergentayangan kembali. Indonesia jadi semakin pekat, ke luar dari akal sehat, penuh bully-an di media sosial.
Situasi ini makin kencang, kala saat ini muncul Islamfobia yang begitu haru biru. Dikotomi aku NKRI, aku Pancasila, yang usai pemilu lalu mereda, kini balik semakin menjadi. Guru Besar Universitas Paramadina, Prof DR Abdul Hadi WM, mengatakan, apa yang terjadi sekarang suasananya persis di awal dekade 1960-an. Semua gerah dan emosi. "Apa yang terjadi sekarang mengenangkan ketika masa saya muda," katanya.
Namun, untuk mengakhiri polemik ini, perlu ulang kembali tulisan soal hubungan agama (Islam) Pancasila, Piagam Jakarta, debat Ki Bagus Hadikusimo, dan Sukarno di BPUPKI pada 1945 atau bulan-bulan menjelang kemerdekaan.
Kala itum Sukarno memang berpidato yang memukau pada 1 Juni 1945 di depan anggota BPUPKI. Sukarno saat itu menawarkan lima prinsip dasar negara yang disebutnya sebagai Pancasila, terdiri atas kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan (lihat Risalah Sidang BPUPKI Sekneg RI 1998).
Selain nama Pancasila, Sukarno juga menawarkan istilah Trisila (Socio-nasionalisme, socio-democratie, dan Ketuhanan yang menghormati satu sama lain). Bahkan, Sukarno pada pidato itu masih menenggang sikap anggota BPUPKI bila ada yang tak setuju dengan "bilangan lima dan tiga" maka dasar negara bisa hanya satu (Ekasila), yakni gotong royong.
"Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan gotong royong. Negara yang kita dirikan haruslah negara gotong royong," begitu kata Sukarno.
Dan perlu diketahui pula, pidato Sukarno mengenai materi dasar negara ini terjadi pada sidang BPUPKI pada hari ketiga, setelah M Yamin berpidato pada hari yang pertama 29 Mei 1945 dengan mengajukan saran dasar negara "Peri Kebangsaan, Peri Kemanusian, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat". Sedangkan, pada 31 Mei Ki Bagus Hadikusumo pun sudah berpidato terlebih dahulu dengan menyarankan Islam sebagai dasar negara dengan argumen: mengingat sebagian rakyat Indonesia beragama Islam.
Dan setelah Ki Bagus berpidato, pada hari yang sama, yakni masiih pada tanggal 31 Mei, Prof Mr Dr Soepomo pun menyampaikan pemikirannya. Dia menyampaikan mengenai pilihan tiga teori negara yang disebutnya sebagai teori "perseorangan", teori "golongan" dan teori "integralistik". Dalam kesempatan itu, Soepomo menyatakan, oleh karena pemimpin bersatu jiwa dengan rakyat maka hak-hak warga negara tidak perlu diadakan jaminan hak-hak warga negara secara eksplisit dalam undang-undang dasar.
Seperti ditulis Saafroeddin Bahar dan Nannie Hudawati ketika memberikan kata pengantar pada buku edisi keempat Risalah Sidang BPUPKI, di sana ditegaskan: “Walaupun tidak--atau belum--diambil keputusan mengenai dasar negara, namun pidato Ir Sukarno tanggal 1 Juni mempunyai arti penting. Ini bukan saja dapat mengintegrasikan seluruh pandangan para anggota BPUPKI menjadi satu kesatuan utuh, tetapi juga disampaikan dengan retorika yang kuat.
Pidato Ir Sukarno tersebut memang mendapat sambutan secara aklamasi oleh seluruh anggota BPUPKI. Meskipun demikian, lanjut Saafroeddin Bahar dan Nannie Hudawatie, suasana di dalam sidang pertama ini masih terus ditandai perbedaan paham tentang dasar negara, antara dua golongan anggota yang kemudian diberi nama sebagai "golongan Islam" dan "golongan kebangsaan".