REPUBLIKA.CO.ID, ANTALYA – Kasus penistaan agama terjadi kembali di Turki. Di Antalya, salah seorang pengguna Twitter, Erez, yang cuitannya mengina nilai agama dan memprovokasi permusuhan, dikecam publik, bahkan tak jarang yang mengutuknya, termasuk Direktorat Urusan Agama Islam Turki (Diyanet).
Alhasil, karena perbuatan tersebut Erez ditahan oleh kepolisian Antalya. Tak hanya itu, Twitter juga menangguhkan akun Twitternya, dan setiap orang terkait yang melangar aturan serupa.
Tak hanya Erez, jurnalis dan mantan pemimpin redaksi Halk TV, Aygün juga ditangkap baru-baru ini karena hal serupa. Hakan Aygün, yang dekat dengan oposisi kiri itu juga diduga mempermalukan nilai-nilai agama. Bahkan, ia disebut-sebut memprovokasi kebencian atau permusuhan dengan menghina Alquran pada April lalu.
Aksi kritiknya berlanjut dengan mencuit kampanye donasi nasional yang digalakan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Bukan asal mengkritik, ia juga mempermainkan ayat-ayat dalam Alquran yang menggunakan kata iman dan kepercayaan agama.
Alhasil, warganet dan publik Turki meminta pemerintah menangkapnya. Termasuk Direktorat Urusan Agama resmi Turki yang melayangkan aduan pidana terhadap Aygün. "Itu penghinaan dan menjadi gesekan kaum Muslim di hadapan masyarakat," kata Diyanet seperti dilansir zero hedge, Jumat (5/6).
Dalam pernyataanya, Diyanet menambahkan, hal tersebut tidak pernah diterima dalam sistem hukum apapun.
Bahkan, lebih jauh, pengacara Erdogan, Mustafa Doğan Inal juga melancarkan pengaduan pidana kembali terhadap Aygün. "Kata-kata dari tersangka yang mengandung penghinaan dan tuduhan berdasarkan klaim palsu tidak dapat ditoleransi,” katanya.
Dia menyebut, demoralisasi karena ulah tersebut telah mencapai bagian masyarakat. Terlebih, penghinaan Alquran sebagai kitab suci umat Islam, kata dia, tentu juga melukai seluruh populasi Muslim di berbagai negara.
"Merendahkan kitab dan ayat-ayatnya, yang merupakan salah satu prioritas utama umat Islam, dengan mengubah tempat-tempat surat dan kata-kata melalui beberapa permainan kata adalah serangan yang tidak dapat diterima,” ujar dia.
Dia menambahkan, dalam Alquran, orang yang menghina kitab Muslim itu telah dijelaskan bagaimana nasib seharusnya. Sambung dia, undang-undang yang mengkriminalkan penista agama atau kritik terhadap agama Islam, berakar pada Kitab Suci Islam.
"Untuk meninggalkan Islam, menghina Muhammad atau Allah SWT, atau untuk melakukan tindakan penistaan lainnya semua bisa dihukum mati,” ungkap dia.
Inal mengucapkan hal tersebut bukan tanpa alasan. Pada 1990, mantan imam dan penulis Muslim, Turan Dursun, yang membicarakan ateisme dan secara terbuka mengkritik Islam dihukum mati karena perkataannya.
Bahkan, di waktu yang sama, hukuman itu juga diberikan pada profesor Bahriye Üçok, yang mengatakan penggunaan jilbab tidak wajib dalam Islam.
Sejauh ini, Turki dengan Undang-undangnya dalam hukum pidana, secara khusus telah mengutip hukuman atas pelanggaran terkait "tidak menghormati" atau "menghina" Islam. Secara eksplisit, aturan itu tercantum pada Pasal 216 KUHP Turki, yang melarang adanya penghinaan kepercayaan agama.
Selain Turki, menurut laporan Kongres Amerika, pelarangan untuk menentang ataupun kritik terhadap agama juga sudah tampak biasa di negara Muslim.
Dalam laporan itu, disebutkan, sebagian besar yurisdiksi di Timur Tengah dan Afrika Utara memiliki undang-undang yang melarang menghina Islam atau agama secara umum.
"Banyak dari mereka baru-baru ini menerapkan hukum seperti itu, termasuk di Aljazair, Bahrain, Mesir, Iran, Yordania, Kuwait, Maroko, Qatar, Arab Saudi, Sudan, Tunisia, Uni Emirat Arab, dan Tepi Barat,” tulisnya.
Bahkan, di Asia Selatan, negara-negara Islam seperti Afghanistan dan Pakistan, juga secara aktif menegakkan undang-undang penistaan tersebut.