Rabu 03 Jun 2020 07:45 WIB
Iran

Mengenang Kepulangan Khomeini dari Pengasingan di Prancis

Kepulangan Khomeini dari pengasingan di Prancis.

Khomeini saat tiba pertama kali di Tehran dari pengasingan di Prancis.
Foto: google.com
Khomeini saat tiba pertama kali di Tehran dari pengasingan di Prancis.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: DR Nasir Tamara, Mantan Wakil Pimred Republika dan Ketua Umum Persatuan Penulis Indonesia Satu Pena*

Pada 4 Juni 1989 bapak bangsa negara Islam Iran wafat. Acara peringatan ini lazimnya diperingati secara masif di Iran. Untuk mengenangkan sosok Khomeini itu, Republika.co.id memuat kembali tulisan mantan wakil pimred Republika, DR Nasir Tamara, bertajuk "Detik-Detik Kepulangan Khomeini". Kala itu, pada 31 Januari 1979, Nasir menyertai kepulangannya dari pengasingannya di Prancis yang sudah dijalankannya selama 15 tahun. Khomeini pulang ke tanah airnya dengan sebuah penerbangan khusus yang mencekam selama lima jam.

Kala itu peristiwa kepulangan Khomeini dari Prancis ke Iran menghebohkan dunia. Kepulangan itu menjadi headline koran di mana-mana. Tiba-tiba, sosok seorang tua bersorban hitam dan berjenggot panjang menjadi dikenal dunia. Publik seolah terkaget-kaget karena kala itu ada seorang ulama yang bisa menyingkirkan seorang yang dianggap sebagai penguasa Iran yang tak  tertandingi layaknya Kaisar Persia zaman dahulu: Syah Reza Pahlevi.

Kala itu Syah berkuasa sangat kuat. Kekuasaanya dilindungi oleh kekuatan intelijen yang dahsyat, yaitu agen rahasia yang bernama Savak. Iran kala itu berubah menjadi negara intel. Posisinya semakin kuat. Pada saat yang sama Iran saat itu adalah salah satu sekutu penting Amerika Serikat di Timur Tengah. Budaya Iran berubah menjadi budaya Amerika. Islam tersingkir jauh-jauh di sana, digantikan budaya liberal-sekuler ala Barat.

Nah, setelah kepulangan Khomeini ke Iran itu, semua berubah drastis. Pelan tetapi pasti kekuasaan Syah Reza Pahlevi melemah dan kemudian jatuh. Penguasa baru bernama Republik Islam Iran muncul. Iran kemudian dijuluki sebagai negara para mullah yang dipimpin oleh seorang presiden. Khomeini kemudian duduk sebagai penasihat spiritual para pemimpin Iran. Negara ini dari yang dahulu sangat pro Amerika Serikat (AS) kemudian berubah total menjadi sangat anti terhadap Amerika.

Iran kemudian, bahkan sampai hari ini, menjadi musuh nomor satu AS. Berbagai konflik diplomatik--bahkan sudah mengarah perang--kemudian meletup. Iran, misalnya, sempat menyandera warga negara AS yang ada di Tehran. Hal ini kemudian dibalas AS dengan memberikan sanksi ekonomi. Khomeini kemudian membalasanya dengan mengutuk AS sebagai setan besar.

Berikut ini kisah detik-detik kepulangan Khomeini dari Prancis ke Iran yang dituliskan Nasir Tamara itu.

------------

Jam 20.00 Rabu malam, 31 Januari 1979. Inilah saat yang paling menegangkan bagi Khomeini, pembantu-pembantunya, pengikut-pengikutnya, ter­masuk juga bagi wartawan-wartawan yang ikut serta bersama pemimpin Syiah itu pulang ke negerinya. Pada jam itu akan diputuskan apakah akan jadi ber­angkat ke Iran atau tidak; setelah beberapa kali diba­talkan.

Sudah sepuluh jam kami, lebih dari 500 wartawan yang mendaftarkan diri untuk ikut terbang, menunggu kabar di halaman rumah Khomeini di Neuphle­ Chateau. Waktu tersebut berlangsung sebagai siksa­an. Masing-masing tidak tahu apa yang akan terjadi. Akan betul-betul berangkatkah Khomeini malam ini, jam 1.00 pagi waktu Paris? Ataukah akan ditunda lagi seperti yang telah terjadi dua kali sebelumnya?

Jam 21.00, Sodeq Gotbzadeh, seorang pembantu­nya, mengumumkan bahwa keberangkatan sudah pas­ti. Nama 150 orang wartawan ditambah 50 orang Iran yang akan naik pesawat Boeing 747 Air France yang disebut oleh pihak Khomeini sebagai "penerbangan revolusi" diumumkan. Saya termasuk salah satu dari wartawan Asia yang ikut.

Rekan saya, Keichi Kamos­hida, dari surat kabar Asahi Shimbun yang beroplah hampir 10 juta lembar per hari mengatakan, "Nasir, kau beruntung, satu-satunya wartawan dari Indonesia yang ikut dalam penerbangan bersejarah ini. Bukan hanya pembaca Sinar Harapan (Nasir waktu itu masih wartawan Sinar Harapan--Red) yang patut bangga."

Saya senang, tapi juga bimbang dan takut: bagaimana kalau pesawat dibajak atau ditembak oleh Angkatan Udara Iran karena tentara Iran masih setia pada Shah Iran?

Jam 24.00 Lapangan Terbang Charles de Gaulle Paris dipenuhi oleh orang-orang Iran, sekitar 1.000 orang. Hampir seluruhnya berteriak-teriak histeris dan tak henti-hentinya memekikkan: "Hidup Khomeini, pemimpin kami" dan "Terima kasih, rakyat Prancis". Khomeini kelihatan terharu. Ia menyapa mereka dan lalu pergi naik ke pesawat udara.

Di atas pesawat yang membawa kami ke Teheran didapat keterangan bahwa kapal terbang ini disewa dengan harga 130 ribu dolar AS dari Air France. Ka­barnya, Perdana Menteri Baktiar sudah berjanji tidak akan menembak pesawat ini. Mudah-mudahan saja. Perjanjian itu dibuat setelah perundingan selama satu minggu. Mula-mula Baktiar menolak, tetapi akhirnya setuju.

Sebetuinya pesawat ini dapat membawa 400 orang penumpang. Namun, Air France meminta agar ia diisi separuh saja. Alasannya, seandainya tidak dapat mendarat di Teheran ia akan dapat kembali ke Pran­cis tanpa perlu mengisi bahan bakar.

Entah apa alasan ini dapat dipercaya. Yang pasti, hal ini, ditambah dengan pemeriksaan yang ketat dan luar biasa oleh polisi Prancis sebelum menaiki pesa­wat, menambah rasa khawatir dan cemas kami.

Bagaimana seandainya salah seorang agen raha­sia musuh Khomeini berhasil juga naik menyelundup ke pesawat dan melakukan pembajakan atau melaku­kan penghancuran pesawat ini meskipun ia mesti mati? Banyak orang yang sanggup melakukan hal itu, misalnya anggota Tentara Merah dari Jepang.

Seandainya tidak ada agen rahasia, bagaimana kalau pesawat ini ditembak saat mendarat di Lapangan Terbang Mehrabad, Teheran? Tentu kami akan mati semuanya. Wartawan dan pengikut-pengikut Khomeini te­gang sekali. Risiko besar. Sepanjang perjalanan, kami tidak banyak bercakap-cakap.

Tiga jam setelah penerbangan berlangsung Kho­meini turun dari ruang tingkat satu, di dekat kamar pilot, di mana sebuah kamar darurat dibuatkan un­tuknya. Kami tak diperbolehkan masuk ke kamar itu untuk melihat bentuknya.

Wajah Khomeini tampak tenang, tanpa emosi. Kami tidak tahu apa perasaannya pada saat itu. Takutkah ia, seperti halnya kami? Saya teringat akan jawabannya ketika ia ditanya oleh wartawan tentang hal itu: "Tidak, saya tidak takut mati. Hanya Tuhan yang menentukan nasib manusia."

"Pendaratan diundur satu jam." Tiba-tiba ada pengumuman dari pilot, padahal kami hanya di ketinggian lebih kurang 400 sampai 500 meter dari lan­dasan. Hal ini menambah kecil hati kami: ada yang tidak beres? Jangan-jangan....

Awak pesawat yang ikut kami terbang dengan sukarela tidak bisa beri keterangan tambah­an. Pesawat berputar-putar di atas Teheran. Suasana makin tegang.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement