REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Shiddiq Aminullah
JAKARTA -- Idul Fitri mengandung makna kembali kepada kesucian. Kesucian batin dari dosa. Hal ini akan diraih oleh mereka yang telah menunaikan berbagai kegiatan ibadah selama bulan Ramadhan dengan baik, dan diterima oleh Allah sebagai amal yang makbul dan mabrur.
Bulan Ramadhan adalah bulan penuh ampunan. Berdasarkan beberapa hadits Nabi SAW, amal-amal ibadah di bulan Ramadhan seperti shaumnya, sholat tarawih, bersedekah, dan lain-lain, semua mendapat jaminan ampunan. Bagi mereka yang tidak memanfaatkan kesempatan yang baik ini dan melewatkannya begitu saja, akan menjadi sebuah kerugian baginya.
Ada sebuah peringatan dari Nabi SAW yang menyatakan barangsiapa yang mengalami hidup di bulan Ramadhan tapi habis Ramadhan dosanya tidak diampuni, maka jika ia mati, dijamin tempat kembalinya adalah neraka. Ibadah di bulan Ramadhan juga mengandung nilai tarbiyyah. Nilai pendidikan yang mendidik diri menjadi manusia yang zuhud, dalam arti hidup tidak diperbudak oleh hawa nafsu dan dunia.
Menjadi manusia yang peka dan peduli terhadap kaum dhuafa, menjadi manusia yang taat aturan dan disiplin. Suasana semarak Ramadhan itu bisa kita saksikan dan rasakan di mana-mana. Di pusat perbelanjaan, di gerbang tol, di perkantoran, televisi, dan sebagainya. Apalagi di masjid dan majelis taklim.
Kaum ibu, termasuk kalangan artis dan selebritis yang biasanya tampil seronok, tampil beda. Semuanya akan menjadi sangat berarti jika beratsar pada perilaku hidup pasca Ramadhan.
Sebab, dalam realitas yang kita saksikan, tidak sedikit dari kalangan kita, yang begitu datang Idul Fitri, secara isyraf (berlebihan) berpesta pora, berbuat tabdir, kembali seronok dan pamer aurat, seolah nilai tarbiyyah selama Ramadhan itu tak beratsar sama sekali.
Karena itu wajar jika ada sindiran yang menyatakan busana yang dipakai mereka bukan busana Muslimah tapi 'busana musiman', busana semusim Ramadhan saja. Makna Idul Fitri pun bukan kembali suci dari dosa, tapi kembali melecehkan nilai-nilai agama. Subhanallah!
Dalam suasana Idul Fitri berbagai kegiatan dengan tema silaturahim untuk saling bersalaman dan bermaafan digelar di mana-mana dalam berbagai skala. Hal itu rutin dilakukan setiap Idul Fitri. Terkesan seakan silaturahim itu terbatas dalam bentuk seremoni pasca-Idul Fitri saja. Seakan kesalahan atau dosa antarsesama itu harus ditumpuk sampai satu tahun.
Silaturahim wajib dilakukan sepanjang hayat. terutama dalam bentuk usaha memelihara dan menjaga diri dan anggota keluarga agar tetap istiqamah dalam keimanan, keislaman, dan amal saleh.
Kan'an putra Nabi Nuh AS dinyatakan oleh Allah dalam QS Hud sebagai bukan keluarga Nabi Nuh AS karena ia tidak beramal saleh. Silaturahimnya dengan sang ayah, Nabi Nuh AS, menjadi putus karenanya. Sikap berani meminta maaf terhadap sesama Muslim, merupakan karakteristik manusia beriman.
Bersalaman atau berjabat tangan juga mempunyai nilai maghfirah. Nabi SAW menyatakan bila dua orang Muslim bertemu dan bersalaman, maka Allah akan mengampuni dosa kedua orang itu sebelum keduanya berpisah (HR Abu Daud). Hal ini pun tentu dengan catatan.
Pertama, jika tidak terjadi pelanggaran di dalamnya. Sebagaimana diketahui dalam Islam ada batasan antar laki-laki dengan wanita yang bukan muhrim haram bersentuhan kulit. Kedua, jika tangan bersalaman merupakan refleksi dari bersihnya hati kedua orang itu dari kebencian, dendam dan hasud. Apalah artinya tangan bersalaman jika hati dipenuhi dengan sikap dan perasaan tersebut. Tentu, di saat pandemi corona saat ini, umat Muslim wajib memperhatikan protokol kesehatan dengan menjaga jarak fisik.
Dalam sebuah hadits riwayat imam Muslim dijelaskan Allah memerintahkan kepada malaikatnya untuk menangguhkan permohonan ampunan dari orang-orang yang dihatinya menyimpan kebencian, dendam, dan hasud terhadap saudaranya. Bulan Syawal bermakna peningkatan kebaikan yang dilakukan selama Ramadhan. Suasana Idul Fitri akan menjadi semakin bermakna jika menjadi akhlak dalam sisa hidup selanjutnya. Wallahu alam.