REPUBLIKA.CO.ID, BIRMINGHAM -- Salah seorang mualaf di Inggris bercerita tentang pengalamannya memeluk Islam sejak 10 tahun lalu. Ia menyadari Islam telah memberinya kekuatan hidup. Ia berharap besar pada persatuan lintas budaya di Inggris.
Sebut saja mualaf itu Mariam. Perempuan itu tinggal di Birmingham bersama tiga anaknya. Ia nyaman bersama komunitas Islam di Masjid Green Lane. Di sana ia menemukan keluarga baru setelah diusir dari keluarga kandungnya saat memilih memeluk Islam pada usia remaja.
"Keluarga saya luar biasa. Orang tua selalu menjadi teman terbaik. Saya tak bisa mengubah apa pun. Namun, setelah saya memeluk Islam, saya dibuang," kata Mariam dilansir dari Birmingham Live, Rabu (6/5).
Mariam tak menyangka keluarganya yang manis berubah 180 derajat ketika ia mengubah kepercayaannya menjadi Muslimah. Bahkan, ibunya merasa malu memiliki anak seperti Mariam. Mariam sudah menyadari pilihannya memeluk agama yang menjadi "musuh dunia" saat ini.
Mariam sebenarnya mulai belajar Islam semenjak menempuh kuliah di Universitas Birmingham. Perlu waktu beberapa tahun baginya untuk akhirnya menjadi mualaf.
Mariam masih menyimpan luka atas tindakan orang tuanya itu. Namun, ia tak ingin larut dalam kesedihan karena telah menemukan keluarga baru di masjid.
"Walau mereka belum bisa menggantikan cinta seorang ibu dan ayah, mereka datang dengan tulus dan kebaikan yang menghapus kesedihan," ujar Mariam.
Mariam semula tumbuh dalam keluarga sekuler dan liberal. Keluarganya punya latar belakang sebagai penganut Sikh. Mariam menyadari kehidupannya tak nyaman karena melalui masa-masa kelam remaja seperti dunia malam dan berpacaran.
Setelah menjalaninya, Mariam merasa cara hidup seperti itu tak tepat bagi masa depannya. Mariam tak ingin berlarut dalam kehidupan bebas semacam itu.
"Saya tak menyukai hidup yang dijalani. Saya tak punya batas. Saya sesali itu. Saya seolah hidup tanpa tujuan," ucap Mariam.
Mariam mulai menekuni Islam pada 2008 sejak kakeknya meninggal. Ketika itu ia mulai bertanya pada diri sendiri tentang kehidupan. Namun, ia tak mendapati jawaban dalam ajaran Sikh.
Ia lalu mulai melakukan riset pada Islam. Hal itu dilakukannya setelah membaca rangkaian berita di media. Ia memang belajar Islam dari nol, tetapi nilai-nilai Islam telah melekat dalam jiwanya.
Mariam sempat menghadiri gerakan antiperang di London pada 2009. Pengalaman mengikuti kegiatan itu sungguh mencerahkannya. Apalagi, di sana ia berjumpa Muslim dari beragam etnis, seperti dari kulit putih, kulit hitam, dan Latin.
"Persatuan itu mengandung daya tarik besar. Agama ternyata tak ditentukan ras. Agama adalah persatuan. Saya putuskan masuk Islam karena melihat gambaran besarnya," kata Mariam.
Dalam perjalanannya menjadi mualaf, Mariam pergi ke Masjid Green Lane. Di sana ia ingin belajar lebih banyak tentang Islam sekaligus mengambil peran yang bisa diambil dalam hidupnya.
Mariam sempat terkejut ketika menyaksikan Muslimah yang mengenakan cadar di sana. Mariam tak bisa melihat wajar mereka. Ia lalu menganggap hal itu sebagai fanatisme.
Mariam tak terjebak dalam stereotip terlalu lama. Ia memilih mengajak mengobrol Muslimah-Muslimah bercadar itu. Ia kaget karena mereka terbukti baik hati.
"Mereka ternyata manusia normal. Mereka manusia. Saat diajak makan malam. Saya menyaksikan ada yang melepas cadarnya, lalu terlihatlah Muslimah bermata biru dan kulit putih," ujar Mariam.
Mariam mengaku mulai mengenakan jilbab dan gamis semenjak saat itu. Mariam menyukai penggunaan pakaian khas Muslimah dari hati tanpa paksaan. Bahkan, ia merasa terlindungi dan terhormat dengan pakaian Muslimah.
Sementara itu, Mariam merasakan Ramadhan dan Idul Fitri berbeda bagi mualaf dibanding mereka yang lahir sebagai Muslim. Mariam pertama kali menjalani Ramadhan di Masjid Green Lane. Di sana ia turut serta dalam program komunitas seperti bantuan ke warga miskin dan diskusi harian.
Mariam berusaha aktif di berbagai kegiatan masjid demi menghidupkan Ramadhan-nya. Pasalnya, ia tak bisa merasakan Ramadhan di keluarganya.
"Selama Ramadhan, kami bersatu sama lain. Bagi kami, kami tak punya keluarga untuk merasakan Ramadhan. keluarga hanya hadir dalam doa," ujar Mariam.
Dari segi kebiasaannya, Mariam mengalami perubahan drastis. Mariam tak lagi minum teh pagi dan makan roti sarapan saat Ramadhan. Ia tak bisa lagi bersantai saat sore sambil menikmati senja.
Kini ia aktif mengajar pada paginya dan tidur pada siang hari. Kemudian, ia mengajar bahasa Inggris dan berkumpul bersama komunitas Muslim pada sore harinya. Sebisa mungkin, ia mengisi waktu dengan membaca Alquran dan tausiyah.
"Puasa memang melelahkan, tetapi pahalanya luar biasa. Makan juga lebih nikmat setelah puasa. Walau saya makan pasta, rasanya seperti pasta buatan restoran. Kemenangan luar biasa bagi Muslim berpuasa," ujar Mariam.
Baca juga: Berislam di Tengah Pandemi, Mualaf Mary: Imanku Tumbuh