REPUBLIKA.CO.ID, Nama KH Abdullah bin Nuh merupakan sosok yang tak asing bagi umat Islam di Tanah Air.
Namanya diabadikan menjadi sebuah jalan protokol di tengah Kota Bogor? Ia adalah salah satu ulama kharismatik dari Jawa Barat yang gigih berjuang mengangkat senjata melawan penjajahan di Indonesia.
Ia juga memiliki peran strategis sebagai jurnalis di berbagai surat kabar dan majalah serta sebagai penyiar Bahasa Arab di RRI di masa awal kemerdekaan. Di bidang pendidikan ia tercatat sebagai perintis berdirinya perguruan tinggi Islam di Yogyakarta (kini UII) serta menjadi dekan di Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Ia juga penulis produktif yang banyak menghasilkan puluhan karya buku baik dalam bahasa Arab, Inggris dan Indonesia.
Kiai Abdullah seringkali disebut sebagai pembawa paham Hizbut Tahrir ke Indonesia, padahal sejatinya bukan seperti itu. Benarkah beliau pembawa ideologi dan pergerakan Hizbut Tahrir pertama kali ke Indonesia?
Syahdan, dalam lawatannya ke Sydney Australia sekitar era '80-an, beliau ditemui salah satu pengagum dan pembaca kitabnya bernama, Abdurrahman al-Baghdadi.
Dalam dialog singkat tersebut, al-Baghdadi yang merupakan pengikut Hizbut Tahrir, jatuh hati dan kepincut dengan gagasan Kiai Abdullah perihal ukhuwah Islamiyah. Al-Baghdadi pun ikut serta dengan Kiai Abdullah pulang ke Indonesia.
Beberapa malam ia menginap di rumah Bogor dan dikenalkan kepada khalayak sebagai anak angkatnya. Nah, Abdurrahman al-Baghdadi inilah yang kemudian menyebarkan pemahaman Hizbut Tahrir ke Indonesia.
Dari situ bisa dipahami bahwa pendirian HTI tak ada kaitannya dengan dakwah Kiai Abdullah, kisah ini sebagaimana dituturkan putra bungsunya KH Mustofa bin Abdullah bin Nuh.
Begitupun kisah persahabatan antara KH Abdullah bin Nuh dan KH Abdul Hamid Pasuruan yang tak pernah diketahui publik bahwa keduanya bertemu secara fisik. Dahulu, tatkala ada rombongan ulama di Jawa Barat berkunjung ke Pesantren Mbah Hamid Pasuruan Jawa Timur. Mereka mengungkapkan keinginannya rutin ke majelis beliau di Pasuruan untuk mengaji agama kepada sang wali masyhur itu.
Namun, tak disangka Mbah Hamid Pasuruan langsung dawuh dengan redaksi kurang lebih, “Tak usahlah datang mengaji ke majelis ini, terlalu jauh bagi kalian. Pergilah ke majelis yang diasuh KH Abdullah bin Nuh. Saya juga tiap Jumat sore, ngaji ke KH Abdullah bin Nuh di majelis beliau di Pesantren al-Ghazali Bogor.” Artinya kedua wali tersebut sebenarnya saling mengunjungi majelis Ilmu masing-masing meski terpaut jarak yang sangat jauh.
Kisah perjuangan KH Abdullah bin Nuh, bisa dibaca dalam buku Saya Muslim, Sunni, Syafi’i ini. Buku yang diterbitkan Sahifa Publishing, April 2020 ini diterjemahkan dari kitab berjudul Ana Muslimun, Sunniyun, Syafi’iyyun karya seorang ulama besar Tanah Sunda asal Cianjur, KH Abdullah bin Nuh.
Buku ini lahir dari permenungan diri dalam menyikapi pola keberagamaan di Indonesia. Di dalamnya dipaparkan sebuah catatan panjang tentang alasan kenapa beragama Islam, mengikuti Sunni dan bermadzhab Syafi’i.
Buku ini, mengingatkan kepada kita betapa luas pengetahuan KH. Abdullah bin Nuh dalam upaya menyatukan umat Islam di Indonesia. Di dalam buku ini, KH Abdullah bin Nuh membahas tuntas persoalan khilafiah furu’iyah (cabang ibadah) yang selama ini menjadi biang keributan antar kelompok agama Islam di Indonesia.
Tak seharusnya umat Islam di Indonesia selalu mempersoalkan khilafiah yang menimbulkan keributan bahkan perpecahan yang meretakkan ukhuwah Islamiyah.
Karena khilafiah ini merupakan hal yang lumrah dan telah ada sejak zaman sahabat Rasulullah, sehingga jika terjadi perbedaan pemahaman hukum, suatu kelompok jangan merasa paling benar dengan pemahamannya lalu menyalahkan kelompok yang lainnya.
Alasan mengapa Kiai Abdullah bermadzhab Ahlussunnah wal Jamaah adalah karakternya yang mengangkat moderasi Islam, mampu beradaptasi dengan situasi dan kondisi apapun sehingga tidak jumud, tidak kaku, apalagi ekstrem, dan radikal.
Spirit moderasi islam ala Ahlussunnah wal Jamaah menjadi jalan paling efektif penyebaran agama Islam di Indonesia yang dijalankan secara ramah dan santun. Hal ini tergambar dalam individu Muslim di Indonesia yang senantiasa hidup bergotong royong dalam masyarakat, saling membantu antar sesama, dan sikap toleransi. Nilai-nilai tersebut haruslah dijaga dan dilestarikan sebagai bentuk dakwah keislaman.
Membaca buku Saya Muslim, Sunni, Syafi’i ini, kita akan mendapatkan renungan dalam menilai sejauh mana kita telah menerapkan agama Islam dalam diri ini. Benarkah kita sudah berislam dengan sempurna? Apakah kita masih meributkan persoalan khilafiah hingga tega menuduh kafir, sesat, bid’ah pihak lainnya?
Judul Buku : Saya Muslim, Sunni, Syafi’i
Penulis : KH. Abdullah bin Nuh
Penerbit : Sahifa Publishing
Tahun : April 2020
Tebal : 650 halaman