Senin 04 May 2020 11:20 WIB

Ingin Buka Masjid, Bagaimana Kondisi Covid-19 di Iran?

Pemerintah Iran akan membuka masjid dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Muhammad Hafil
Ingin Buka Masjid, Bagaimana Kondisi Covid-19 di Iran?. Foto: Presiden Iran Hassan Rouhani.
Foto: Iranian Presidency Office via AP
Ingin Buka Masjid, Bagaimana Kondisi Covid-19 di Iran?. Foto: Presiden Iran Hassan Rouhani.

REPUBLIKA.CO.ID, JEDDAH -- Ratusan masjid di Iran akan membuka kembali pintu mereka, Senin (4/5). Sementara angka kematian akibat Covid-19 di negara tersebut melonjak dan masih belum ada kepastian berapa banyak orang Iran telah terinfeksi.

Juru bicara Kementerian Kesehatan, Kianoush Jahanpour melaporkan, ada 976 kasus virus baru pada Ahad (3/5). Total kasus menjadi 97.424 orang, dan jumlah kematian meningkat 47 menjadi 6.203.

Baca Juga

Para ahli dan pejabat, baik di dalam maupun di luar Iran  meragukan angka resmi Covid-19 negara itu. Beberapa pihak meyakini jumlah sebenarnya kasus bisa jauh lebih tinggi dari yang dilaporkan.

Namun demikian, Presiden Hassan Rouhani mengatakan 132 distrik administratif, sekitar sepertiga dari negara itu, akan kembali membuka masjid mereka mulai hari ini, Senin (4/5).

"Masjid akan dibuka sambil menghormati protokol kesehatan. Jarak sosial lebih penting daripada doa bersama," ujar Rouhani dikutip di Arab News, Senin (4/5).

Dia berpendapat, Islam mewajibkan untuk tetap menjaga kesehatan, sementara sholat di masjid hanya direkomendasikan.

Iran juga dinilai lambat bereaksi terhadap pandemi virus ini.  Masjid-masjid dan tempat-tempat suci keagamaan utama di Mashad dan Qom tidak ditutup sampai pertengahan Maret.

Bahkan, para ulama secara aktif mendorong para umat Muslim untuk melaksanakan umroh bahkan ketika wabah itu menjadi yang terburuk di Timur Tengah, dan menyebar dari Iran ke negara-negara lain di wilayah tersebut.

Teheran akhirnya berusaha menahan penyebaran virus dengan menutup universitas, bioskop, stadion dan ruang publik lainnya. Tetapi negara itu mempertaruhkan kondisinya dengan pembukaan kembali bertahap ekonomi sejak 11 April, dengan alasan sanksi AS membuat mereka tidak dapat tetap tutup.

Larangan perjalanan antarkota telah dicabut, dan mal-mal telah dibuka kembali meskipun ada peringatan dari beberapa pejabat kesehatan tentang gelombang infeksi baru. Sekolah dan universitas tetap ditutup, serta pertemuan budaya dan olahraga dilarang. Meski begitu, Rouhani mengatakan sekolah di daerah berisiko rendah akan segera dibuka kembali.

Hanya bisnis dengan risiko tinggi seperti pusat kebugaran dan tempat pangkas rambut yang tutup. "Kami akan melanjutkan pembukaan kembali dengan tenang dan bertahap," kata Rouhani.

Sementara itu, Arab Saudi melaporkan 1.552 kasus virus baru pada Ahad, dengan total menjadi 27.011. Jumlah kematian meningkat delapan menjadi 184. Di seluruh dunia, virus telah menginfeksi lebih dari 3,5 juta orang dan menewaskan hampir 250.000.

Jordan mencabut semua pembatasan yang tersisa pada kegiatan ekonomi, sebagai usaha pelonggaran dari aturan penguncian untuk membantu memulai ekonomi. Pihak berwenang di Amman secara bertahap mencabut pembatasan dalam dua minggu terakhir untuk memungkinkan bisnis kembali bekerja, dengan jumlah staf yang lebih rendah dan pedoman sosial serta kebersihan yang ketat.

Menteri Perindustrian, Tariq Hammouri mengatakan, bisnis dan industri sekarang dapat melanjutkan produksi penuh. Transportasi umum akan kembali ke layanan normal dengan pedoman keselamatan, tetapi universitas dan sekolah akan tetap tutup dan jam malam akan dilanjutkan.

Jordan telah melaporkan 460 kasus virus Covid-19 yang dikonfirmasi dan sembilan kematian, tetapi mengatakan telah menahan wabah tersebut.

Perdana Menteri Omar Razzaz mendapatkan pujian atas respons yang cepat terhadap pandemi. Tetapi ketika dampak ekonomi semakin dalam, ada kritik dari kelompok-kelompok bisnis dan kekhawatiran akan kerusuhan sosial.

Di AS, Menteri Luar Negeri Mike Pompeo melanjutkan serangan terhadap China karena dianggap bertanggung jawab atas pandemi.

"Ada sejumlah besar bukti bahwa ini berasal dari laboratorium di Wuhan. Para ahli terbaik sejauh ini tampaknya berpikir itu buatan manusia. Saya tidak punya alasan untuk tidak percaya pada saat ini," kata dia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement