Ahad 03 May 2020 03:15 WIB

Koh Steven, Mualaf yang Jual Semua Harta demi Tangani Corona

Bagi Koh Steven, harta hanya titipan Allah.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Ani Nursalikah
Koh Steven, Mualaf yang Jual Semua Harta demi Tangani Corona. Steven Indra Wibowo, CEO / Founder Mualaf Center Indonesia.
Foto:

Hingga kini, total donasi yang terkumpul sudah sebesar Rp 480 juta. Jumlah ini bisa membantu orang-orang yang membutuhkan makanan.

Apalagi dana yang dia miliki pun kian menipis. Dia berharap langkahnya dapat diikuti oleh banyak orang. Semula makanan siap saji yang dikirim itu bisa 2.000 paket sehari, tetapi kini berkurang menjadi 700 atau 1.000.

Paket sembako yang dikirim juga tidak sebanyak sebelumnya, karena kini hanya 200-300 paket sembako yang dikirim tiap hari. Total dana yang dihabiskan per hari untuk sembako dan makanan siap santap sebesar Rp 50 juta.

"Aku berharap gerakan ini diduplikasi oleh orang lain, karena kapasitasku ini akan berakhir, pasti ada ujungnya. Dan ini akan menjadi panjang dan lama. Orang lapar pasti ada terus," ujarnya.

Koh Steven juga buka-bukaan soal mengapa dia memahami pakaian hazmat yang berstandar WHO. Dia bekerja di sebuah perusahaan riset di Singapura, yang salah satu kliennya adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan WHO menjadi subklien. Perusahaan riset sosial ini mengurus soal peredaran obat dan kadar gizi buruk di beberapa negara.

Pada Januari 2020, Koh Steven dan rekan kerjanya yang lain rapat bersama WHO. Saat itu disebutkan mengenai virus yang akan menjadi pandemi global, dan hanya soal waktu kapan WHO mengeluarkan pernyataan.

Semula Koh Steven mengira virus ini seperti MERS sehingga yang dibutuhkan hanya masker. Ia pun mencoba memproduksi masker sendiri dengan mengimpor alat produksi dan bahan untuk dibagikan gratis. Total biaya saat itu habis sekitar Rp 500 juta.

"Tetapi ternyata penyakit ini naik. Terus aku coba cek tenaga medis, ternyata Indonesia sudah mengekspor hazmat atau APD-APD cukup banyak. Ya sudah, bikin hazmat. Beli alat-alatnya dari Guangzhou, China, dari sana dikirim ke Taiwan lalu ke Singapura lalu ke Indonesia," ucap dia.

Untuk bahan, Koh Steven mengimpor dari Jepang. Bahannya terbilang bagus dan tidak terlalu mahal. Koh Steven kemudian belajar dari teman-teman di WHO tentang caranya sanitizing, sterilisasi, dan bagaimana memasukkannya ke dalam bahan.

"Terus (belajar tentang) UV segala macam, beli UV Chamber, bikin ruangannya khusus untuk sterilisasi. Alhamdulillah, ya sudah akhirnya mencetak sendiri dulu," kata dia.

Kini, ada 70 lebih penjahit yang membantu memproduksi ribuan hazmat. Mesin-mesin jahit yang diimpor itu ditaruh di rumah si penjahit agar mudah dikerjakan. Koh Steven menanggung biaya listrik rumah, termasuk juga membayar puluhan penjahit tersebut. Para penjahit ini bekerja lebih dari 12 jam dan ongkos lemburnya tidak dibayar.

"Aku bilang dari awal ke mereka, ini untuk didonasikan, buat berkhidmat. Kata mereka nggak apa-apa, sekalian beramal. Mereka dibayar normal, tetapi lemburannya tidak dibayar," katanya.

Koh Steven memastikan pakaian hazmat yang diproduksi tersebut sudah berstandar WHO. "Karena aku belajar dari situ. Aku tidak jual, aku tidak mencari cuan (uang) tidak mencari untung. Jadi produksi seaman mungkin, dan aku bagikan gratis," ujarnya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement