REPUBLIKA.CO.ID, Rumah menjadi tempat melepas lelah bagi ayah usai bekerja. Kehangatan keluarga, tawa anak dan peluk mesra istri membuat semua beban pekerjaan sirna.
Suasana bertambah sahdu ketika rumah itu kerap dipenuhi merdu suara tilawah Alquran dan khusyuknya anggota keluarga yang melakukan shalat sunnah. Selepas itu, ayah memberi nasihat ringan sambil bercengkerama dengan anggota keluarga. Kasih sayang yang dilandasi nilai-nilai Alquran menimbulkan cahaya iman terpancar dari rumah itu.
Kualitas ruhiyah menjadi faktor penting bagaimana rumah tangga itu terbangun. Kokohkah dia atau hanya rapuh. Di dalam Alquran, Allah SWT telah berfirman “ Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal.” (QS An Nahl:80).
Rumah di dunia yang kita tempati saat ini bisa menjadi penentu kondisi rumah kita di akhirat. Apakah kita akan menikmati rumah-rumah indah di surga atau malah kita dimasukkan ke dalam panasnya neraka. Dua tujuan akhirat itu digantungkan lewat amal-amal kita di dunia. Salah satu penentu bagaimana kita melakukan amal baik dan buruk adalah lewat nilai-nilai yang dibangun di dalam rumah.
Kita semua tentu rindu untuk memasuki surga Adn. Sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam QS Ar-Ra’d:23-24 bahwasanya orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya masuk ke dalam surga tersebut. Tidakkah satu keluarga yang masuk ke dalam surga itu tinggal di dunia dalam satu rumah?
Di dalam buku Rumah Seindah Surga, Dr Imran Khalid menceritakan bagaimana seorang yang saleh mendidik anaknya untuk menjadi orang. Dia bernama Abdul Mun’im. Matanya buta. Lelaki itu hanya bekerja sebagai peneliti firasy (ilmu mengenai silsilah keturunan). Hanya, ia punya mimpi untuk menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi sampai tamat. Anaknya berkisah jika ayahnya memiliki kotak tabungan dengan celah kecil untuk menaruh uang recehan. Ibrahim kecil senang mendengar bunyi suara uang saat dimasukkan ke kotak itu.
Jika kotak penuh, Abdul Mun’im akan mengeluarkannya dan menukar dengan uang kertas pound. Uang itu yang akan ditabung untuk biaya pendidikan Ibrahim. Kepada Ibrahim, ayahnya berkata, “Wahai anakku, tangan ayahmu ini sama sekali tidak pernah digunakan untuk melakukan perbuatan haram. Maka, bila engkau suatu waktu sampai mengerjakan perbuatan haram, yang paling utama engkau lakukan adalah berhenti seketika.” Sedemikian kuat karakter ayah dalam mendidik anaknya meski dia hanya lelaki buta.