REPUBLIKA.CO.ID, TORAJA – Dai Mualaf Center Baznas (MCB) menggelar kajian Islam pada Selasa (10/3) di kediaman Reko, salah satu binaan Mualaf Center Baznas. Tepatnya di Dusun Tekko, Lembang Bone Buntu Sisong, Kecamatan Makale Selatan, Kabupaten Tana Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan. Tema pembahasan pada kajian ini yaitu tentang pernikahan.
Salah satu yang dibahas atas permintaan binaan MCB terkait ‘uang panai’ yang menjadi salah satu tradisi adat Suku Bugis yang kini sudah mulai diterapkan oleh sebagian suku Tana Toraja.
Uang panai sendiri dalam tradisi adat Suku Bugis merupakan uang yang diberikan oleh mempelai pria kepada mempelai wanita sebagai uang belanja dalam memenuhi kebutuhan acara pernikahan. Selain itu, dalam jumlah pemberiannya disesuaikan dengan kelas sang wanita yang dilihat dari kecantikan, keturunan, pendidikan, hingga pekerjaan.
Menurut salah satu binaan Baznas, keponakan salah satu pemangku adat Tana Toraja telah melangsungkan acara lamaran dengan menentukan jumlah uang sebesar Rp 70 juta. Suku Tana Toraja dahulunya tidak mengenal sistem layaknya uang panai, melainkan dengan musyawarah dan kerelaan kedua belah pihak dalam melangsungkan acara pernikahan. Sehingga, penentuan uang sejumlah tertentu untuk sebuah pelaksanaan prosesi pernikahan baru beberapa tahun ini terjadi dan tidak memiliki sebutan khusus sepeti ‘uang panai’.
“Bagaimana pandangan Islam mengenai penentuan sejumlah uang saat proses lamaran tersebut?” tanya Nurhayati, salah satu binaan MCB.
Menurut dai MCB, Ariadi Anshar, hal itu tergantung bagaimana konteks tujuan dari uang tersebut. “Jika maksud tujuan uang tersebut digunakan seperti apa yang ibu-ibu sampaikan yaitu dalam rangka menjamu tamu dengan jamuan terbaik itu sangat bagus, apalagi Islam sangat menjunjung adab dalam menjamu tamu. Selain itu, perlu dilihat kembali kemampuan mempelai pria dalam kesanggupan memenuhi permintaan sejumlah uang tententu dan sebaiknya tidak ada paksaan dalam pemenuhannya, sehingga tidak menyulitkan calon pria dan wanita dalam melangsungkan pernikahan,” ujar Ariadi Anshar seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Ia menambahkan, Islam hadir dengan seperangkat aturan dalam menjadi agama rahmatan lilalamin atau rahmat bagi seluruh alam. Peraturan Islam itu mudah dan tidak memberatkan, selagi apa yang dikerjakan tidak bertentangan dengan aturan Islam. Maka Islam hadir tidak pernah mempersulit aktifitas manusia salah satunya dalam menjalankan ibadah pernikahan. Sebagaimana dalil yang ditegaskan oleh Allah SWT, “maka nikahilah mereka para perempuan dengan izin keluarga mereka dan berikanlah mahar-mahar mereka dengan cara yang ma’ruf.” (QS. An-Nisa’: 25)
Ia menjelaskan, mahar dalam Islam adalah media yang bertujuan untuk memuliakan wanita. Berapapun yang diberikan mempelai pria berdasarkan kesanggupannya merupakan salah satu bentuk keseriusan dalam menjalankan pernikahan. Maka proses perayaan pernikahan bukan lagi menjadi hal yang mempersulit penyatuan dua insan dalam ikatan pernikahan. Sebab syarat sahnya menikah adalah adanya mahar, ijab kabul, mempelai laki-laki dan perempuan, wali, dan saksi.
Ariadi mengemukakan, edukasi mengenai pandangan Islam dengan adat istiadat daerah binaan Mualaf Center Baznas merupakan salah satu bagian dalam menjadikan binaan paham akan syari’at Islam. Namun juga tidak membatasi adat istiadat sebagai bentuk kekayaan budaya Indonesia selama tidak melanggar rambu-rambu syariat Islam.