Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Penulis Buku Dan Traveller
Berita meninggalnya Prof. Dr. dr. Bambang Sutrisno MHSc. Guru Besar Epidemiologi FKM-UI, Senin (23/3) menambah panjang daftar korban keganasan virus covid-19 di Indonesia.
Dari dunia, mantan presiden club sepakbola Real Madrid, Lorenzo Sanz, juga diberitakan meninggal akibat komplikasi penyakit yang diderita setelah terinfeksi virus corona, Sabtu (21/3).
Kalau beranggapan pada pandemi ini tubuh yang sehat dan usia muda lebih “aman”, ternyata tidak terbukti pada dua atlet ini.
Adalah Elham Sheikhi seorang pemain nasional futsal putri Iran. Ia meninggal dunia setelah 10 hari dirawat karena virus corona.
Begitupun Francisco Garcia, pelatih club sepakbola Atetico Portada Alta yang menghembuskan nafas terakhir di usianya yang “baru” 21 tahun. Padahal ia memenuhi syarat muda dan sehat.
Wabah penyakit yang pertama kali disuarakan oleh dr Li Wenliang dari Wuhan, Cina, ini tak pandang bulu. Siapa saja bisa tertular atau menularkan pada yang lain.
Dr Li bahkan menebus mahal: dengan nyawanya. Ia yang ikut berjibaku mengatasi wabah itu akhirnya harus menyerah setelah positif terinfeksi.
Nahasnya, ia sempat ditangkap polisi karena dianggap menyebarkan kabar bohong tentang merebaknya wabah radang paru-paru yang disebabkan oleh virus corona jenis baru menjelang akhir 2019 itu.
Atas desakan banyak pihak, akhirnya pekan lalu pemerintah Cina secara resmi meminta maaf pada keluarga dr Li dan menghukum pejabat kepolisian setempat.
Tak mudah bagi ilmuwan untuk menyampaikan kebenaran, karena seringkali berbenturan dengan banyak kepentingan. Terutama kepentingan para penguasa.
Tak sedikit pula yang harus mengorbankan nyawanya demi penelitian yang dilakukannya. Yang paling terkenal adalah kisah Marie Curie. Ilmuwan kimia peraih dua penghargaan Nobel itu meninggal saat meneliti radioaktif yang digunakan untuk pengobatan.
- Keterangan foto: Patung tembaga Ibn al Baytar
Jauh sebelum itu, seorang cendekiawan Muslim juga ada yang berkorban nyawa tersengat racun dari tanaman obat yang sedang ditelitinya.
Abu Muhammad Abdallah Ibn Ahmad Ibn al-Baytar Dhiya al-Din al-Malaqi, nama lengkap ilmuwan legendaris yang biasa dipanggil Ibnu al-Baytar atau di Barat dikenal sebagai Alpetragius.
Seperti cendekiawan Muslim pada zamannya, ia seorang dengan multi disiplin ilmu. Hafidz Alqur’an, ahli botani, farmakolog, nutrisionis, dan banyak lagi.
Kecintaannya pada ilmu botani, membuatnya berkelana meninggalkan kampung halamannya di Malaga, Andalusia, untuk mengumpulkan tanaman obat.
Ia menyusuri pantai utara Afrika hingga Asia Timur Jauh. Ia sempat singgah ke Tunisia, Tripoli, Damaskus, Baitul Maqdis, Mesir, hingga Konstantinopel.
Ribuan tanaman ia kumpulkan, klasifikasi dan teliti khasiatnya hingga menjadi 1.400 ramuan obat. Di antaranya ramuan sakit kepala, telinga, demam, penangkal racun, obat mata, bahkan bahan yang sekarang kita namakan kosmetik.
Risetnya yang sangat panjang itu ia tulis dalam kitab “Al-Mughnī fi al-Adwiyyah al-Mufradah (Kompendium Obat-Obatan yang Berguna)”. Terdiri dari 20 bab dan merupakan ensiklopedi buah, sayur dan tanaman obat yang paling lengkap.
Kitab ini dikutip oleh lebih dari 20 ilmuwan Yunani sebelum diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Digunakan selama berabad-abad hingga abad ke-16.
Konon, beberapa manuskripnya telah ditemukan dan disimpan di berbagai perpustakaan dunia. Ah, siapa tahu ada yang meneliti kitabnya dan menemukan obat untuk mengatasi pandemi ini.