Jumat 28 Feb 2020 23:25 WIB

PBNU Ingatkan Keteladanan Gandi Terkait Kekerasan India

PBNU menegaskan kekerasan atas nama apapun tidak dibenarkan.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Nashih Nashrullah
Buku-buku berserakan di sebuah sekolah negeri setelah diserbu oleh massa di New Delhi, India, Rabu (26/2).
Foto: AP Photo
Buku-buku berserakan di sebuah sekolah negeri setelah diserbu oleh massa di New Delhi, India, Rabu (26/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Harian Tanfidziyah Penguruz Besar Nadhlatul Ulama (PBNU), Robikin Emhas, menegaskan bahwa kekerasan atas nama apapun tidak bisa dibenarkan. Hal tersebut dia sampaikan berkenaan dengan kerushuan terhadap umat muslim di New Delhi, India. 

"Apalagi kekerasan yang mengatasnamakan agama," kata Robikin Emhas dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta pada Jumat (28/2).

Baca Juga

Secara pribadi, dia mengaku berduka mendalam terhadap jatuhnya korban jiwa dan luka menyusul meluasnya konflik kontroversi UU Kewarganegaraan (CAA) di India. Staf Khusus Wakil Presiden Ma'ruf Amin ini berpendapat bahwa sebenarnya pluralisme merupakan karunia Tuhan yang tidak boleh dinodai. 

Dia meyakini sepenuhnya bahwa setiap agama memiliki nilai humanitarian dan membawa pesan perdamaian. Sehingga, sambung dia, persekusi dalam bentuk apapun atas nama mayoritarianisme juga tidak bisa dibenarkan.

"Sebagai warga masyarakat dunia, saya merasa perlu mengingatkan ajaran dan semangat perjuangan tokoh kemerdekaan India, Mahatma Gandhi, yang anti kekerasan, suatu gerakan yang sepatutnya menjadi teladan," katanya.

Secara khusus, dia mengimbau bahwa sebagai negara mayoritas Muslim, Indonesia harus memberi teladan kepada India. Dia memperingatkan agar jangan ada warga di Tanah Air yang terprovokasi akibat peristiwa tersebut. 

Dia juga meminta masyarakat agar tidak mudah terpancung dengan segala bentuk hasutan yang bersifat memancing amarah. Dia menyarankan agar warga negara Indonesia harus menunjukan sebagai bangsa yang beradan dan berbudaya.

"Saya ingatkan juga. Waspadai hoaks. Biasakan tabayun, check and recheck. Jangan telan mentah-mentah apa yang beredar di laman sosial media," katanya.

Seperti diketahui, jumlah korban meninggal akibat kerusuhan di New Delhi, India bertambah menjadi 38 orang. Sejauh ini polisi telah menangkap 514 tersangka yang terlibat dalam kejadian tersebut.

Pada Jumat (28/2), India mengerahkan lebih banyak pasukan keamanan ke masjid-masjid di New Delhi. Mereka ditugaskan menjaga prosesi salat Jumat. Saat kerusuhan berlangsung pada Selasa (25/2), massa memang tak hanya menghancurkan rumah warga Muslim tapi juga membakar dua masjid.

Kerusuhan di New Delhi dipicu aksi demonstrasi menentang Undang-Undang Kewarganegaraan atau CAA yang dianggap anti-Muslim. Kubu yang terlibat bentrokan adalah pendukung dan penentang CAA. Namun kericuhan berubah menjadi konflik komunal antara Muslim dan Hindu.

India meratifikasi CAA pada Desember 2019. UU tersebut menjadi dasar bagi otoritas India untuk memberikan status kewarganegaraan kepada para pengungsi Hindu, Kristen, Sikh, Buddha, Jain, dan Parsis dari negara mayoritas Muslim yakni Pakistan, Afghanistan, dan Bangladesh.

Status kewarganegaraan diberikan jika mereka telah tinggal di India sebelum 2015. Namun dalam UU tersebut, tak disebut atau diatur tentang pemberian kewarganegaraan kepada pengungsi Muslim dari negara-negara terkait. Atas dasar itu, CAA dipandang sebagai UU anti-Muslim. 

 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement