REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL – Radikalisme masih menjadi permasalahan serius di Indonesia. Bahkan, berbagai aksi radikal dan terorisme dilakukan kelompok yang mengatasnamakan dirinya sebagai suatu agama.
Untuk itu, Sekretaris Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Agung Danarto mengatakan, pemahaman agama harus diajarkan secara komprehensif. Sehingga, dapat memahami dan sekaligus mengamalkan ilmu agama. Hal ini tentu dapat menangkal radikalisme itu sendiri.
Dia menjelaskan, dalam mengajarkan Alquran tidak hanya dengan metode menghafal saja. Namun, Alquran harus diajarkan dengan pemahaman ilmu pengetahuan.
Menurutnya, dalam beribadah dan akidah harus sesuai dengan ajaran agama. Sementara, dalam urusan sosial kemasyarakatan juga harus menggunakan nilai-nilai yang terkandung dalam Islam.
“Yang literal (harfiah) hanya pada aspek ibadah dan akidah, tetapi aspek di luar itu harus dengan menggunakan akal pikiran yang sesuai dengan jiwa ajaran Islam. Jika membaca ayat, harus dipikirkan dan dipahami terlebih dahulu,” katanya saat menggelar FGD di Hotel Grand Dafam Rohan, Bantul, Kamis (20/02).
Danarto menuturkan, perkembangan zaman terus terjadi. Hal ini, bahkan juga menjadikan masyarakat Indonesia untuk terus mengikuti perkembangan yang ada.
Dengan begitu, menurut Danarto, umat Muslim harus rajin mengikuti kajian kontemporer. “Penerapan (ajaran Islam) dari waktu ke waktu harus mengikuti perkembangan peradaban yang ada. Harus mengikuti kajian keilmuan kontemporer yang ada,” jelasnya.
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penaggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen Pol Ir Hamli, mengatakan paham radikalisme sendiri bisa masuk dan menyampaikan doktrin melalui berbagai tempat. Seperti di sekolah, pondok pesantren, organisasi, bahkan rumah sakit.
Hal ini, kata Hamli, kerap digunakan oleh pelaku teror dalam melancarkan aksinya. Doktrin ini, ujarnya, bahkan sudah terjadi sejak pendidikan anak usia dini (Paud).
“Natal, Tahun Baru, Ramadhan, Lebaran dan 17 Agustus. 17 Agustus mereka akan serang, karena mereka menganggap sebagai negara thagut. Doktrin pemikiran seperti ini sudah terjadi mulai dari Paud, dari TK. Minimal untuk tidak suka terhadap yang berbeda,” ujarnya.