REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) mengimbau masyarakat semakin memperkuat narasi bencana. Sebabnya, masih banyak korban bencana yang hidup terlunta-lunta, seperti mereka yang berada di sekitar perbatasan Kabupaten Bogor Jawa Barat dan Lebak Banten.
“Dengan mata kepala, kami menyaksikan mereka berlari-lari meminta bantuan, sementara banyak posko lembaga filantropi yang berhenti beroperasi,” kata Direktur Komunikasi ACT Lukman Aziz saat mengunjungi kantor Republika di Jakarta pada Selasa (18/2).
Berdasarkan pantauannya, banyak posko yang tak lagi menyalurkan bantuan kemanusiaan sejak akhir Januari, karena beranggapan masa darurat bencana sudah selesai. Padahal, curah hujan semakin tinggi yang mengakibatkan banjir bandang dan longsor berkali-kali terjadi.
Bencana longsor dan banjir bandang di Kabupaten Bogor dan Lebak terjadi sejak sebulan lalu. Area hijau di sana menjadi sasaran pembalakan liar sehingga pepohonan yang ada tak lagi mampu menyerap air hujan. Tingkat kemiringan lahan juga semakin parah.
Banyak rumah tertimbun longsor sehingga warga bukan sebatas kehilangan rumah, tapi juga batas lahan yang menjadi hak miliknya. Praktis mereka tak lagi memiliki tempat tinggal.
Hal sama juga dialami warga yang tinggal di sekitaran daerah aliran sungai Ciberang Lebak Banten. Air sungai menggerus hunian dan segala bangunan yang ada di sekitarnya.
Orang-orang harus mengungsi. Jumlahnya mencapai ratusan ribu Januari. Hingga detik ini, ACT mencatat masih ada 1.800-an warga terdampak bencana yang membutuhkan bantuan.
Meski tak jauh dari Istana Negara di Bogor, korban bencana masih hidup terlunta-lunta. Jarak Istana Bogor ke lokasi bencana di Sukajaya Bogor adalah 50 KM. Waktu tempuh dalam kondisi arus lalu lintas lancar adalah kurang dari tiga jam.
Karena itu, Lukman mengimbau narasi bencana harus semakin diperkuat. Dengan begitu, seruan membantu saudara se-Tanah Air yang terdampak musibah tetap menggema. Masyarakat terpanggil dan tergugah untuk membantu para korban dengan segala potensi.
Mereka masih tinggal di hunian sementara berdinding terop dan bertiang bambu. Kala hujan turun mereka kedinginan. Saat mentari di atas kepala mereka kepanasan. Tak ada fasilitas memadai di sana. Makan seadanya. “Ini sangat memprihatinkan,” kata Lukman.
Pihaknya juga mengajak berbagai pihak untuk bersinergi menanggulangi bencana di sana. Hal ini dilakukan melalui penghimpunan donasi dan realisasi program kebencanaan. Contohnya penyaluran bantuan berupa materil seperti kebutuhan dasar. Juga kebutuhan nonfisik seperti terapi agar warga terhindar dari trauma dan tekanan psikis akibat kehilangan harta benda, keluarga, dan kerabat dekat.
Wakil Pemimpin Redaksi Republika Nur Hasan Murtiaji menjelaskan bantuan kebencanaan harus terus dihimpun dan disalurkan. Sebab masyarakat di Kabupaten Bogor dan Lebak Banten sangat mengharapkan uluran tangan banyak pihak.
Pada pekan lalu pihaknya menyalurkan bantuan pembaca Republika untuk korban bencana. Di antaranya adalah kepada Pimpinan Pondok Pesantren Riadul Mubtadiin Ustaz Ujang Edo. Lokasinya di Kampung Ciparempeng, Desa Cileuksa, Sukajaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Tiba di sana, tim Republika menyaksikan sejumlah bangunan tertimbun longsor. Para ustaz dan santri menempati hunian sementara. Rombongan dijamu dengan hidangan nasi, sayur daun singkong, dan ikan asin. “Untuk mendapatkan makanan seperti itu, para santri harus menempuh perjalanan hingga 20 KM. Sangat memprihatinkan,” kata Hasan.
Pihaknya berkomitmen untuk memperkuat narasi bencana. Republika akan bersinergi dengan komunitas pembaca untuk membantu korban bencana di mana pun. Juga menggencarkan konten bencana melalui berbagai platform yang dikelola.
“Ada video, daring, koran, media sosial. Semuanya kita manfaatkan,” ujar Hasan.