REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam sebuah hadist, Rasulullah bersabda:
"Sungguh, Allah lebih gembira terhadap tobat seorang hamba yang beriman dari pada seorang laki-laki yang singgah di suatu padang pasir yang tandus bersama seekor hewan tunggangannya yang membawa makanan dan minumannya. Dia merebahkan kepalanya lalu tertidur pulas di sana. Saat dia terjaga, ternyata hewan tunggangannya menghilang. Maka ia pun mencari-carinya hingga merasa sangat lapar dan haus atau apapun yang dikehendaki Allah. Ia berkata dalam dirinya, 'Lebih baik aku pulang saja ke tempatku semula dan tidur sampai aku mati.' Lantas ia pun meletakkan kepalanya di atas lengannya sambil menanti kematiannya di situ. Namun, saat ia terjaga dari tidurnya, tiba-tiba ia mendapati hewan tunggannya telah berada di sisinya. Nah, Allah SWT lebih bergembira lagi terhadap tobat seorang hamba yang beriman, dari pada kegembiraan laki-laki ini terhadap hewan tunggangannya. " (Mutaffaq Alaih dari Ibnu Mas'ud dan Anas).
Imam Al Ghazali dalam kitabnya yang berjudul Menebus Dosa menyebutkan, masih banyak lagi hadist dan atsar tentang tobat yang tak terhitung jumlahnya. Sementara, seluruh umat telah sepakat tentang status wajibnya taubat, lantaran pengertiannya ialah kesadaran bahwa dosa-dosa serta maksiat-maksiat itu membawa kepada kehancuran dan menyebabkan jauh dari Allah. Dan, tentu saja ini termasuk perkara yang wajib diimani, hanya saja kelalaian sering menimpa seseorang.
"Maka makna kesadaran ini adalah hilangnya kelalaian itu. Tidak ada perbedaan pendapat tentang status wajibnya tobat," tulis Imam Al Ghazali.
Di antara pengertian tobat lainnya adalah tindakan meninggalkan berbagai kemaksiatan saat itu juga. Tetap konsisten untuk meninggalkannya di masa yang akan datang, serta melengkapi apa-apa yang kurang pada masa lampau.