REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Persatuan Islam (Persis) menilai pelibatan ormas-ormas Islam yang berbadan hukum dalam memberikan fatwa halal perlu dikaji lebih dalam apa dampak positif dan negatifnya bagi sistem jaminan prodak halal. Pelibatan ormas Islam tersebut diatur dalam rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja atau Omnibus Law.
"Terkait wacana melibatkan ormas-ormas Islam dalam memberi fatwa halal atas produk makanan dan obat obatan kepada selain Lembaga Fatwa MUI memang masih perlu dikaji dampak positif dan negatifnya," kata Wakil Ketua Umum Persis KH Jeje Zaenuddin saat dihubungi, Senin (17/2).
Sebab kata KH Jeje, dalam masalah penetapan halal dan haram atas produk makanan, minuman, dan obat obatan yang sangat banyak macam dan ragam bahan dasarnya, tentu bisa membuka peluang perbedaan kesimpulan penetapan kehalalan atau keharamannya. Karena, kehalalan dan keharaman dalam hal ini yang bersifat ijtihadi yang bisa saja debateble, bukan yang sudah qath'iy atau pasti saja.
"Jika hal itu terjadi antara satu lembaga fatwa dengan lembaga fatwa yang lain, tentu bisa berdampak kepada ketidakpastian hukum. Walau pun di sisi lain mungkin prosesnya bisa lebih simple dan lebih cepat," katanya.
Karena kata KH Jeje, ketidakpastian hukum bisa berdampak kebingungan pada konsumen. Untuk itu pemerintah diminta mempertimbangkan kembali rencana melibatkan ormas-ormas Islam dalam memberikan fatwa halal terhadap prodak yang mengajukan sertifikasi halal.
Sebelumnya, Indonesia Halal Watch (IHW) menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja berpotensi merusak sistem penyelenggaraan jaminan prodak halal. Pasalanya di draf RUU Omnibus Law tersebut telah menghapus peran ulama yang selama ini memberikan fatwa halal atas prodak yang diajukan sertifikasi halal.
"RUU Cipta Kerja berpontensi menjadi RUU cilaka bila menghapus peran ulama dalam menetapkan fatwa atas prodak halal pada sistem jaminan halal," kata Direktur Eksekutif IHW Ikhsan Abdullah, melalui keterangam tertulisnya, Ahad (16/2) kemarin.
Ikhsan mengatakan, selama ini peran ulama melalui lembaga Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengeluarkan fatwa halal atas prodak yang diajukan sertifikasi berdasarkan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) yang ketentuannya berbunyi "Sertifikat halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI".
Namun kata Ikhsan, peran tersebut akan diambil alih oleh Badan Penyelenggara Jaminan Prodak Halal (BPJPH) dengan mengubah ketentuan Pasal 1 angka 10 yang berbunyi menjadi sebagai berikut "Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal."
"Jadi di draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja redaksi berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI dihapuskan," kata Ikhsan.
Dalam ketentuan ini juga kata Ikhsan, BPJPH akan mengambil inisiatif sendiri apabila dalam waktu tiga hari fatwa yang dimintakan belum diterbitkan, maka BPJPH sesuai Pasal 35A RUU Cipta Kerja dapat mengeluarkan sendiri fatwa halal tersebut, hal ini kata Ikhsan menghapus peran ulama dan hukum negara mengkooptasi hukum agama.
"Karena pemerintah memberikan kewenangan kepada BPJPH untuk menetapkan kehalalan suatu produk. Inilah masalah yang mempunyai potensi perlawanan dari umat Islam," katanya.
Ikhsan mempertanyakan, sejak kapan BPJPH diberikan hak oleh Negara menjadi komisi fatwa? Bukankah itu ranah dan kewenangan ulama. Seharusnya kata Ikhsan, negara harus memperkuat posisi ulama dengan fatwanya bukan malah mendelegitimasi apalagi menghilangkan perannya.
Ikhsan menuturkan, yang berkaitan dengan Jaminan Produk Halal, maka yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah penyederhanaan proses yang berbeda dengan peniadaan ketentuan yang bersifat substantif. Misalnya fatwa MUI untuk kehalalan produk artinya bahwa sertifikasi halal harus diselenggarakan berdasarkan prinsip keagamaan.
"Karena terminologi halal dan haram adalah hukum agama yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi keulamaan," katanya.
Fatwa produk halal bersifat qodoi, artinya final dan binding, karena merupakan penetapan fiqih qada’i yang hasilnya tidak dimungkinkan lagi dibuka ruang untuk pengujian kembali dan tidak boleh lagi terjadi perbedaan pendapat. Maka dari itu fatwa produk halal harus ditetapkan oleh ulama melalui MUI.
"Bukan diserahkan kepada ormas-ormas Islam apalagi oleh orang perseorangan," katanya.
Ikhsan memastikan, untuk menghindari perbedaan fatwa karena harus bersifat final dan binding, maka sudah tepat bahwa penetapan fatwa atas produk halal dilakukan oleh ulama melalui MUI. Apalagi semua mengetahui, bahwa MUI tempat bernaungnya ormas Islam dan tempat berhimpunya para Ulama, zuama dan cendekiawan muslim dari lintas ormas Islam.
"Mulai dari Nahdhlatul Ulama, Muhammadiyah, Al Irsyad Al Islamiyah, Matlaul Anwar dan 59 Ormas Islam lainya hingga Persatuan Umat Islam," katanya.
Sesuai Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 1 angka 10 bahwa “Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu Produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI." Ketentuan UU yang sudah diterima dan berlaku di masyarakat harusnya diperkuat lagi oleh begara bukan dirabut.
Menurut Ikhsan, bila RUU salah mengesahkan ketentuan Pasal 4 RUU Cipta Kerja, maka sama halnya BPJPH, Kementerian Agama dan Negara telah mendelegitimasi peran-peran lembaga keagamaan khususnya MUI dan ini akan berhadapan dengan Umat Islam.
Selanjutnya, Ikhsan juga menyoroti RUU Cipta Kerja di Pasal 4 yang memasukan ketentuan norma baru yang sebelumnya tidak ada. Hal ini kata Ikhsan, jelas tidak lazim, jikapun boleh dilakukan maka ketentuan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, di Pasal 4 itu pemerintah sedang menciptakan suatu kemunduran.
"Dengan memunculkan ketentuan di Pasal 4 itu, pemerintah membuat fase kemunduran 30 tahun kebelakang," katanya.
Dalam hal ini kata Ikhsan, berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan menganggu ketentraman masyarakat, yang selama ini telah diberikan jaminan kenyamanan dalam mengkonsumsi dan menggunakan produk berlogo halal MUI. Karena logo halal MUI ini penanda jaminan kehalalan suatu produk yang tidak berdasarkan pernyataan sepihak dari pelaku usaha.
"Karena pada dasarnya semua pelaku usaha ingin melakukan self declare atau menyatakan kehalalan produknya sendiri," katanya.
Untuk itu kata Ikhsan, dalam rangka menentramkan konsumen dan umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia, maka ketentuan kehalalan produk harus berdasarkan ketentuan fatwa MUI dan bukan dari yang lain. Bila ketentuan ini dipaksakan, maka negara sedang meruntuhkan bangunan moral yang selama ini dilakukan oleh para Ulama yang dapat menciptakan disintegrasi antar ulama dan ormas Islam.
"Karena ketentuan Pasal 35A RUU Cipta Kerja membuka ruang kepada semua Ormas Islam untuk memberikan fatwa tertulis atas sebuah produk. Ini sangat berbahaya karena ulama yang selama ini telah bersatu dalam rumah besar MUI akan terpecah-pecah karena semua diberikan ruang untuk berfatwa yang diizinkan negara," katanya.