Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Traveler dan Penulis Buku
Rencana pembangunan terowongan yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan katedral Jakarta yang digulirkan minggu lalu menuai beragam komentar. Banyak yang mempertanyakan, apa urgensinya?
Disebutkan salah satu tujuannya adalah untuk memudahkan mobilitas dan akses ke kedua tempat ibadah terbesar di Indonesia itu.
Setuju atau tidak? Tulisan ini tak hendak membahasnya.
Secara umum fungsi terowongan (dan juga jembatan) adalah untuk menghubungkan dua tempat supaya lebih mudah dijangkau.
Sejarah mencatat, peradaban Islam sudah sangat maju dalam pembuatan konstruksi jembatan sejak berabad yang lalu. Seperti yang terlihat di Andalusia dan Baghdad.
Salah satu buktinya, saya masih bisa saksikan di kota Cordoba saat melakukan perjalanan ke Andalusia. Jembatan Jisr atau Qintharah Qurthubah yang dalam bahasa Spanyol sekarang dinamakan Puente Romano.
Jembatan itu masih sangat kokoh, membelah sungai Al-Wadi al-Kabir (yang dilafalkan orang Spanyol sebagai Guadalquivir).
Panjangnya 400 m, lebar 40 m, dan tinggi 30 m. Arsiteknya bernama Ibnu Malik al-Khaulani, atas perintah Khalifah Umar bin Abd al-Aziz pada 101 H.
Konstruksinya menggunakan batu-batu yang sangat kokoh. Lengkung-lengkung di bawah jembatan selain berfungsi untuk kekuatan daya dukung dengan menggunakan prinsip teori lengkung, juga untuk memecah arus dan sangat indah secara estetika.
Bayangkan, membuat bangunan sekokoh, serumit dan semegah itu ketika alat transportasi untuk mengangkat bahan baku masih sebatas unta, kuda dan bighal.
Donald R Hill dan Ahmad al-Hassan dalam bukunya yang berjudul “Islamic Technology: an Illustrated History”, mengungkapkan pengerjaan konstruksi selalu beriringan dengan telaah matematika dan sains.
Perlu para cendekiawan yang tak hanya ahli konstruksi, namun juga menguasai perhitungan matematika dan fisika yang rumit.
Setali tiga uang dengan Andalusia, di Baghdad juga ada sungai besar yang sangat terkenal yang membelah Baghdad menjadi dua bagian, yakni kawasan Rusafa dan Karkh.
Sungai itu adalah Sungai Tigris. Di atasnya dibangun sebuah jembatan kokoh untuk menghubungkan dua wilayah itu.
Di sepanjang tepi sungai banyak berdiri bangunan-bangunan simbol peradaban, seperti masjid, madrasah, perpustakaan, pusat perdagangan dan istana.
Seperti yang tercatat dalam kitab “Al-i'lām Bi Manāqib al-Islām” yang ditulis Abul Hasan Muhammad bin Yusuf al-āmirī . Para arsitek Muslim telah membangun banyak jembatan. Tak hanya jembatan yang pondasinya tertanam di tanah.
Namun juga jembatan gantung bersuspensi terbuat dari tali dan kayu, seperti yang terlihat di Persia hingga Maghribi (Maroko, Tunisia, Aljazair dan kawasan Afrika Utara).
Jadi kalau di zaman modern ini manusia berlomba-lomba membuat jembatan yang panjang dan kokoh, peradaban Islam sudah lebih dulu membuktikannya berabad yang lalu.
Jakarta, 11/2/2020