Jumat 07 Feb 2020 12:00 WIB

Cara Allah Menghibur Ibu Nabi Musa Saat Hatinya Kosong

Ibu Nabi Musa menyembunyikan Musa ketika terdengar perintah Firaun.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Muhammad Hafil
Cara Allah Menghibur Ibu Nabi Musa Saat Hatinya Kosong. Foto: Pantai Lokasi pertemuan Sungai Nil dan Laut Tengah
Foto: Aljazeera
Cara Allah Menghibur Ibu Nabi Musa Saat Hatinya Kosong. Foto: Pantai Lokasi pertemuan Sungai Nil dan Laut Tengah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Janji Allah itu pasti, mustahil bagi Allah mengingkarinya. Maka bagi orang-orang yang beriman, perintah Allah yang diiringi dengan pemenuhan janji haruslah dijalankan meski rasa duka dan berat hati mengiringinya. Inilah yang terjadi pada ibunda Nabi Musa ketika menghanyutkan bayinya di sungai Nil, namun Allah menghiburnya.

Ibunda Nabi Musa AS bernama Ayadzakhatu atau dalam banyak versi bernama Nakhib, Afahiyah, Ayarikha. Di Taurat, nama Ayadzakahtu dikenal dengan sebutan Yokhebed, dan di dalam kitab-kitab Nasrani dikenal dengan sebutan Yukabad.

Baca Juga

Dalam buku Ensiklopedia Wanita Alquran  karya Imad al-Hilali dijelaskan, ketika Firaun menemui ahli sihir dan nujum tentang ramalan bahwa kekuasannya bakal hancur kelak oleh seorang anak keturunan Bani Israil, maka dia memberi maklumat kepada seluruh jajarannya untuk membunuh setiap bayi laki-laki yang baru lahir. Hal itu dilandasi ketakutan Firaun sebab singgasana kekuasaannya akan lenyap.

Pada saat maklumat itu diberikan, Ayadzakhatu baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki. Beliau pun takut dan akhirnya menyembunyikan bayinya dari banyak orang dan bala tentara Firaun. Namun setelah tiga bulan kelahiran anaknya itu, Allah menurunkan wahyu kepadanya untuk memasukkan bayi tersebut ke dalam kotak khusus dari kayu.

Karena keimanan serta keteguhan hatinya, meski berat melepas anak bayinya itu, Ayadzakhatu melaksanakan perintah Allah SWT. Beliau kemudian pergi ke seorang tukang kayu dan meminta dibuatkan kotak kecil yang sekiranya bisa memuat bayi.

Setelah mendapatkan kotak tersebut, Ayadzakhatu melempar kotak itu ke gelombang air sungai Nil yang mematikan. Kemudian, waktu terus berjalan sementara itu hatinya diselimuti keresahan serta kegelisahan mengenai nasib bayinya.

Kekhawatiran itu datang dari segala macam arah, sehingga suatu ketika ia meletakkan tangan di atas dadanya yang tek henti-hentinya berdegup keras. Kedua matanya menatap ke arah langit seraya memohon kepada Sang Pendipta agar menyelamatkan puteranya.

Allah pun menurunkan wahyuNya, sebagaimana hal ini juga diabadikan di dalam Alquran Surah al-Qashash ayat 7 berbunyi: “Wa nuridu an namunna alaladzina-studifuu fil-ardhi wa naj’aluhum aimmatan wa naj’aluhumul-waritsiina,”.

Yang artinya: “(Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir maka jatuhkanlah ia ke sungai Nil), dan janganlah kamu khawatir dan janganlah pula bersedih hati, Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu, dan hendaklah menjadikan mereka pemimpin dan menjadikannya (salah seorang) dari pada Rasul,”.

Dalam buku itu disebutkan, para ahli tafsir menyebut bahwa yang menemukan dan memungut kotak berisi bayi itu adalah para pelayan kerajaan Firaun. Mereka tak berani melakukan apa-apa terhadap kotak tersebut kecuali meletakkannya di hadapan istri Firaun, Asiah.

Begitu melihat rupa si bayi, hati Asiah pun langsung kepincut gemas. Dia pun memanggil bayi tersebut dengan nama Musa dan memutuskan untuk merawatnya. Karena permintaan merawat bayi laki-laki itu hadir dari istrinya sendiri, Firaun pun tak kuasa untuk menolaknya meski ia telah menggulirkan peraturan untuk membunuh setiap bayi laki-laki yang lahir.

Namun demikian, nyatanya bayi Musa tak mau menyusu kepada sembarang ibu, meski Asiah telah mendatangkan banyak kaum ibu ke istana. Alquran mengabadikan hal ini di dalam Surah al-Qashash ayat 12 berbunyi:

"Wa harramna alaihi almaradhi’a min qablu faqalat hal adullukum ala ahli baytin yakfulunahu lakum wa hum lahu naasihun,”. Yang artinya: “Dan Kami cegah dia (Musa) menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusuinya sebelum itu. Maka berkatalah dia (saudara perempuan Ayadzakhatu): maukah aku tunjukkan kepadamu keluarga yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?”.

Lalu Asiah mengizinkan saudari Ayadzakhatu yang bernama Maryam itu menemuinya sambil membawa kabar gembira. Kemudian Ayadzakhatu segera bergegas pergi ke istana dan pergi menemui bayi Musa.

Betapa senang dan bergetar jiwanya melihat kembali puteranya dalam keadaan selamat. Ia pun segera menyusui bayi Musa yang tanpa sedikit pun menolak air susunya. Asiah pun menawarkan Ayadzakhatu untuk tinggal di istana sambil mengurus Musa, namun hal itu ditolaknya.

Ayadzakahtu menggulirkan permohonan untuk membawa bayi Musa ke rumahnya. Beliau berkata: “Wahai, Tuan Putriku. Aku berharap kepadamu andai engkau mengizinkan, bayi ini mau aku bawa ke rumahku untuk aku susui dan aku rawat dengan penuh kejujuran dan kepercayaan. Jika itu diizinkan, aku menyampaikan terima kasih kepadamu sebesar-besarnya,”.

Permohonan itu pun dikabulkan Asiah. Seketika, rasa bahagia muncul di jiwa Ayadzakhatu sebab bisa kembali membawa pulang bayinya. Hikmah dari cara Allah menghiburnya sungguh merupakan sebuah misteri buah keimanan yang hakiki.

Terkait itu, Allah berfirman dalam Alquran Surah al-Qashash ayat 13 berbunyi: “Faradadnahu ila ummihi kay taqarra aynuha wa la tahzana wa lita’lama anna wa’dallahi haqqun, walakinna-ktsarahum la ya’lamun,”. Yang artinya: “Maka Kami kembalikan Musa kepada ibunya, supaya senang hatinya dan tidak berduka cita dan supaya ia mengetahui bahwa janji Allah itu adalah benar (pasti). Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya,”.

Setelah tugas menyusuinya selesai, Ayadzakhatu pun datang kembali ke istana Firaun untuk menyerahkan Nabi Musa AS. Menurut sejumlah riwayat, beliau wafat setelah Allah mengembalikan kegembiraan kepadanya, memenuhi janji yang diberikan kepadanya, dan mengutus Musa sebagai pembawa peringatan bagi Firaun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement