REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Administrasi pemerintahan pada zaman modern mengandalkan konsep otonomi daerah. Sistem ini dianut oleh sebagian besar negara di dunia. Dengan otonomi, tiap daerah bisa mengatur urusan lokal tanpa perlu menunggu instruksi dari pusat sehingga mampu menggerakkan roda pembangunan dengan cepat.
Umumnya, diketahui konsep otonomi atau tata pemerintahan secara keseluruhan berasal dari gagasan cendekiawan Barat, terutama selama periode Renaissance. Klaim ini tidak sepenuhnya benar. Sebab, berpuluh abad sebelumnya, kaum Muslim sudah menerapkan kebijakan otonomi dalam mengatur negara.
Penelurusan sejarah dilakukan para ilmuwan kontemporer. Mereka menemukan fakta bahwa dinasti kekhalifahan abad pertengahan dibangun berdasarkan sistem administrasi otonomi. Provinsi-provinsi Islam memiliki kekuasaan dalam menerapkan kebijakan di beberapa bidang.
Demikian disebutkan pada buku History of the Arab. Penulisnya, sejarawan sains Philip K Hitti menyatakan, sejak dinasti Umayyah memegang tampuk kekuasaan di dunia Islam, sistem otonomi segera diberlakukan. Terkait hal ini, otoritas dan tanggung jawab pengelolaan wilayah diemban para gubernur, sultan, atau emir di tingkat lokal.
Mereka adalah wakil khalifah di masing-masing provinsi. Gubernur, papar Philip Hitti, wajib mengurus administrasi politik dan militer di provinsinya. Hanya satu bidang yang tidak sepenuhnya diberikan kuasa kepada gubernur, yakni pajak.
Pada era Umayyah, pajak di tiap daerah diurus oleh petugas khusus (shahib al kharaj). Mereka bertanggung jawab langsung kepada khalifah. Sejarah mencatat, khalifah Muawiyah pernah mengirim petugas khusus dari ibu kota Damaskus ke Kuffah.
Pada awalnya, penarikan pajak dan kas negara diberikan otonominya kepada tiap provinsi. Tetapi, lama kelamaan, para pegawai daerah melalaikan amanah itu sehingga khalifah merasa perlu mengevaluasi kebijakannya dengan mengirim petugas khusus.
Tak hanya bagi kalangan politisi dan penguasa negara, sistem otonomi sangat penting bagi para ilmuwan Muslim. Mereka mulai menggali warisan pemikiran kuno terutama dari Yunani dan India, yang terkait dengan penerapan otonomi di lingkup politik pemerintahan.
Salah satu tokoh penting yang mengusung tema otonomi dalam gagasan ilmiahnya yakni Khwaja Ziauddin al Barani (1285-1357). Pemikirannya pada bidang otonomi, urai Mark Bevir dalam buku Encyclopedia of Political Theory, bersumber dari ide Plato maupun Aristoteles.
Mark Bevir mencatat, yang dikemukakan al Barani termasuk konsep Islam paling awal tentang otonomi. Al Barani menegaskan bahwa khalifah mengemban amanah Tuhan di muka bumi untuk memimpin umat menuju kehidupan yang lebih baik.
Ia diberikan seperangkat alat kekuasaan untuk menjalankan amanah itu. Meski demikian, pada praktiknya, khalifah atau penguasa tidak sepenuhnya bisa mengawasi jalannya upaya pengaturan negara. Oleh karena itu, sebagian kekuasaannya harus diberikan kepada para pembantunya.
Mark Bevir menyebut pemikiran al Barani sebagai konsep otonomi di dunia Islam abad pertengahan. Bahkan, al Barani dengan tegas mengatakan, konsep itu menjadi keniscayaan bagi negara atau imperium Islam dengan wilayah kekuasaan yang luas.
Tidak mungkin terwujud sebuah negara serta kekuasaan yang kuat tanpa ditopang wilayah-wilayah yang kuat dan makmur,” tutur al Barani.
Pemikiran ini berpengaruh sangat luas dan diterapkan pada masa-masa berikutnya. Pada era pemerintahan dinasti Abbasiyah, sistem otonomi pun dipergunakan secara kuat untuk mendukung perkembangan segenap aspek kehidupan.
Berdasarkan karya-karya sejarawan Muslim klasik, semisal al Ishtakhiri, ibn Hawqal, atau ibn al Faqih, wilayah Abbasiyah juga terbagi dalam provinsi-provinsi. Pada perkembangannya, tak jarang terjadi perubahan jumlah atau batas wilayah provinsi tersebut.
Proses desentralisasi dan otonomi pun tak terhindarkan. Philip Hitti menyatakan, hal ini merupakan konsekuensi dari wilayah yang demikian luas dari imperium Islam kala itu. Terutama karena sulitnya sarana komunikasi.”
Gubernur menjalankan urusan administrasi di tingkat lokal. Otoritas seorang gubernur sangat dominan. Bahkan, jabatannya bisa diwariskan kepada keturunannya. Gubernur bisa terus memegang jabatannya selama masih dipercaya oleh wazir istana.
Dua jenis gubernur
Sejarawan Muslim al Mawardi mengungkap dua jenis jabatan gubernur pada era kejayaan. Pertama, dalam kapasitas sebagai imarah 'ammah (amir umum), ia memiliki wewenang untuk mengatur urusan militer, juga mengangkat hakim serta mengawasi hakim peradilan. Otoritas lainnya yakni memungut pajak di wilayahnya, memelihara ketertiban, menata administrasi kepolisian, dan menjadi imam shalat Jumat.
Kedua adalah gubernur yang punya otoritas khusus (khashshah). Di sini, gubernur tidak memiliki otoritas peradilan dan pajak.
Kata Philip Hitti, ada kalanya kewenangan gubernur atau amir jauh lebih luas. Ia memiliki otonomi luar biasa, antara lain, karena kemampuan pribadinya, lemahnya pengawasan khalifah, jarak yang jauh dari pusat pemerintahan, dan lainnya.
Dalam urusan keuangan, provinsi pun berhak menyusun rencana anggaran sendiri sesuai kebutuhan. Jika pengeluaran lokal lebih sedikit dari pemasukan, sisanya dikirimkan ke ibu kota. Demikian pula peradilan, dipegang oleh seorang kepala hakim provinsi.
Konsep otonomi juga melingkupi aspek keagamaan. Pada masa itu, banyak terdapat komunitas non-Muslim, antara lain, Nasrani, Yahudi, Sabiin, Zoroaster, Manikea, dan sebagainya. Oleh penguasa kekhalifahan, mereka diakui hak-haknya dan mendapat otoritas khusus, yakni dalam kaitan menjalankan ajaran agama atau kepercayaan, membentuk peradilan agama, atau mengangkat pemimpin agama. Namun, jika terjadi perselisihan dengan umat Muslim, akan diselesaikan di peradilan umum.