Senin 03 Feb 2020 23:10 WIB

Soal Khutbah, Ini Saran Guru Besar UIN untuk Menag

Guru besar UIN mengingatkan Menag untuk tidak terlalu negara-sentris.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Nashih Nashrullah
Penyeragaman khutbah memang memungkinkan tetapi negara tak boleh intervensi terlalu dalam. Foto ilustrasi khutbah.
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Penyeragaman khutbah memang memungkinkan tetapi negara tak boleh intervensi terlalu dalam. Foto ilustrasi khutbah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,  Sukron Kamil, menilai saat ini Kementerian Agama seperti tidak memosisikan dirinya di tengah, tapi cenderung teokratis. 

Menurut dia, ada kecenderungan seperti itu karena menguatnya Islamisme dalam Islam politik yang ditunjukkan melalui serangkaian aksi 212.

Baca Juga

"Semuanya saya kira tahu itu. Apalagi kelompok (212) merasa berhasil memenangkan (Gubernur DKI Jakarta) Anies Baswedan (pada Pilgub DKI 2017)," ujar Sukron kepada Republika.co.id, Senin (3/2). 

Untuk merespons itu, Sukron mengungkapkan, Menteri Agama Fachrul Razi perlu memahami khazanah negara-negara yang sedikit memerintah, termasuk dalam hal mengatur persoalan agama. 

Namun, dia mengakui, tradisi militer Menag Fachrul terlihat masih cukup kuat, karena kemungkinan terbiasa bicara Sapta Marga. "Tapi walau bagaimana pun, ketika negara mengatur agama, justru bisa disalahgunakan, dan juga dalam beberapa hal menghilangkan ekspresi-ekspresi keagamaan lain. Ini tidak baik bagi pengembangan kelompok masyarakat sipil," ungkapnya.

Sukron menambahkan, umpamanya jika seluruh masjid di Indonesia diatur, tentu akan sangat rumit. 

Menurut dia, kunci pengaturan masjid sebetulnya ada di takmir atau pengurus masjid. Pengurus masjid perlu diingatkan melalui cabang-cabang institusi Kemenag di daerah untuk membatasi ruang bagi dai yang berpotensi memecah-belah.

"Sehingga pembicara-pembicara atau khatib-khatib yang bermasalah tidak lagi diundang. Di sinilah fungsinya KUA (Kantor Urusan Agama), atau setidaknya kantor-kantor Kemenag di daerah, agar membina para takmir," ujar dia.

Sukron menilai, Kemenag harus tetap memberi ruang berekspresi kepada kelompok masyarakat sipil. Dengan begitu, lanjut dia, tidak ada kesan Negara terlalu dominan dan tidak memberi ruang berekspresi terkait keagamaan.

Menurut Sukron, model pengaturan masjid itu seharusnya mengikuti seperti posisi lembaga-lembaga amil zakat yang merupakan kepanjangan tangan dari Pemerintah. Misalnya adalah Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) yang tersebar di daerah-daerah.

"Jadi misalnya ada semacam dewan masjid yang menjadi kepanjangan tangan dari Kemenag. Tapi takmir-takmir ini tetap memiliki kebebasan seperti kelompok masyarakat sipil, sehingga dapat terbentuk kemandirian pada ekonomi, gagasan, dan pengelolaan, jangan semuanya serba negara. Kalau serba negara ya jadi totaliter," imbuhnya.

Beberapa waktu belakangan, Kemenag mengeluarkan kebijakan tentang majelis taklim melalui Peraturan Menteri Agama nomor 29 tahun 2019. 

Terbitnya PMA ini menuai polemik karena dianggap terlalu mengintervensi kegiatan keagamaan masyarakat. Selain itu, wacana yang mengemuka sekarang adalah penceramah bersertifikat. Menag menyebut sertifikasi ini nantinya tidak bersifat wajib, sehingga hanya bagi yang ingin.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement