Selasa 28 Jan 2020 09:10 WIB

Dalam Islam, Gratifikasi Sama dengan Mengambil Ghulul

Islam melarang pejabat dan pegawai menerima gratifikasi.

Dalam Islam, Gratifikasi Sama dengan Mengambil Ghulul. Foto: Gratifikasi (ilustrasi)
Foto: KPK.GO.ID
Dalam Islam, Gratifikasi Sama dengan Mengambil Ghulul. Foto: Gratifikasi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam hukum bernegara, gratifikasi adalah tindakan melanggar hukum yang bisa dijerat pidana. Penerima gratifikasi bisa dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Banyak kasus korupsi yang menjerat pejabat negara lantaran gratifikasi yang ia terima.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gratifikasi adalah uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan. Deskripsi yang lebih spesifik diterangkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 12B ayat satu. Dikatakan, "Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya."

Baca Juga

Pembahasan gratifikasi di tengah-tengah masyarakat pun beragam. Ada yang menyebutnya hadiah, ucapan terima kasih, tips, dan lainnya. Menurut pakar ekonomi Islam, Syafii Antonio, pemberian hadiah dinilai haram jika kondisi pemberi dan penerima pada posisi dari "bawah" ke "atas". Misalnya, dari bawahan ke atasan, dari wajib pajak ke petugas pajak, dari rakyat ke pejabat, dan seterusnya.

Pemberian dari bawah ke atas ini dimaksudkan untuk mengharapkan suatu imbalan, baik secara materi atau non-materi. Misalnya, memperlancar kepentingan bisnis, naik jabatan, pemberian wewenang atau keputusan dari atasan, dan semua hal yang berkaitan dalam ruang lingkup bawahan ke atasan tersebut. Ia mengharapkan ada timbal balik dari atas ke bawah.

Tetapi, jika pemberian hadiah dari atas ke bawah atau kepada sesama, hal ini diperbolehkan. Misalnya, dari orang kaya ke orang miskin, dari bos kepada karyawan, atau sesama teman. Alasannya, tidak ada "udang di balik batu" dari pemberian tersebut. Pemberian hadiah didasarkan untuk memupuk persaudaraan, persahabatan, dan kasih sayang semata.

Sebagaimana gratifikasi dilarang dalam hukum bernegara, demikian juga pandangan hukum Islam dalam bersikap. Rasulullah SAW sangat tegas melarang sahabat-sahabatnya untuk menerima gratifikasi. Riwayat dari Abu Humaid as-Sa'idi mengisahkan, salah seorang dari suku Al-Azdi bernama Ibnu Lutbiah ditugaskan memungut zakat. Setelah ia pulang, ia melaporkan dan menyerahkan zakat hasil pungutannya kepada Baitul Mal.

"Ini pembayaran zakat mereka, lalu yang ini adalah untuk saya karena ini pemberian dari wajib zakat kepada saya pribadi," ujar Ibnu Lutbiah. Rasulullah SAW pun marah dan memerintahkan Ibnu Lutbiah untuk mengembalikan gratifikasi yang diterimanya. Rasulullah SAW bersabda, "Cobalah dia (Ibnu Lutbiah) duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya. Apakah akan ada yang memberikan (gratifikasi) kepadanya?" (HR Bukhari Muslim).

Rasulullah SAW dalam hadis Beliau menegaskan, menerima gratifikasi sama halnya dengan mengambil ghulul, yakni barang curian dari harta rampasan perang. Ancamannya sangat jelas, siapa yang memakan harta gratifikasi akan datang di Hari Kiamat dalam kondisi kesusahan. Di lehernya akan dipikulkan unta, sapi, dan kambing yang mengembik. (HR Bukhari Muslim).

Tidak bisa dimungkiri, pejabat berwenang yang menerima gratifikasi akan berpengaruh pada putusan dan kinerja apa yang diwewenanginya. Demikian juga pegawai pemerintahan. Ketika ia meminta atau menerima gratifikasi, ia akan cenderung melayani konsumen yang memberi gratifikasi.

Lama kelamaan, ia bahkan tak mau melayani orang yang tak mau memberi gratifikasi. Padahal, semua konsumen mempunyai hak yang sama, yaitu mendapatkan pelayanan dari pegawai tersebut secara adil dan proporsional. Pegawai tersebut sudah digaji oleh negara atau perusahaan tempatnya bekerja untuk melayani konsumen secara umum.

Demikian juga seorang hakim, pasti akan terpengaruh dengan gratifikasi. Ia akan cenderung membenarkan atau membela orang yang memberi gratifikasi kepadanya. Inilah alasannya Imam Al-Baghawi dalam kitab Syarhu as-Sunnah secara keras mengharamkan para pejabat pemerintah dan hakim untuk menerima gratifikasi.

Pakar fikih kontemporer, Dr Ahmad Zain An-Najah, mengatakan, masuk juga dalam kasus gratifikasi, seorang pegawai yang kongkalikong dengan pihak lain. Misalnya, pegawai pemerintahan yang ditugaskan untuk menyediakan alat-alat multimedia di kantornya. Ketika penganggaran, harga alat-alat multimedia ini di-mark-up lebih tinggi. Kemudian, saat pembelian, dia memilih membeli alat-alat tersebut di toko yang mau menawarkan harga lebih murah dari anggaran belanja yang ada. Alasannya, selisih uang pembelanjaan bisa masuk ke kantong pribadinya.

Di samping itu, pegawai pemerintahan tadi juga mendapatkan diskon dari penyedia alat-alat multimedia tadi. Diskon tersebut sebenarnya harus ia laporkan ke kantor tempatnya bekerja secara transparan. Jika ia mengambil potongan harga tersebut untuk pribadinya, hal ini juga termasuk dalam definisi gratifikasi.

Bisa juga, jika pegawai tadi meminta uang lebih kepada konsumen, katakanlah uang transport, uang jasa, atau uang lelah karena telah melayani pelanggan. Padahal, pegawai tersebut sudah digaji dan memiliki tunjangan-tunjangan atas pekerjaannya. Hal ini juga termasuk dalam gratifikasi.

Semasa Nabi Muhammad, hadiah-hadiah yang didapat para sahabat dari tugasnya di lapangan selalu dilaporkan secara transparan. Misalnya, Muaz bin Jabal RA yang pulang bertugas dari Yaman dan membawa hadiah budak-budak. Muaz sempat ditegur Allah SWT melalui mimpi karena belum melaporkan budak-budak tersebut kepada khalifah Abu Bakar RA.

Keesokan harinya, Muaz langsung menyerahkan seluruh budak tersebut kepada Abu Bakar RA. Bijaknya Abu Bakar, hadiah budak yang memang diperuntukkan bagi Muaz pun ia perintahkan untuk dikembalikan kepada Muaz. Demikian atsar yang dikisahkan Ibnu Abdul Barr dalam kitab At Tamhid (2/7).

Mungkin pada awalnya, gratifikasi bertujuan baik. Pelanggan yang puas dengan pelayanan yang prima ingin memberi hadiah sebagai penyemangat atau memotivasi. Mungkin juga sebagai tanda terima kasihnya karena puas dengan pelayanan si pegawai. Tapi, hadiah semacam ini untuk jangka panjang akan merusak mental si pegawai. Lama-lama, niatnya bekerja bisa berpaling. Ia bekerja bukan atas nama perusahaannya, tapi untuk dirinya sendiri. Ia menunggu dan mengharapkan gratifikasi, baru mau bekerja. Apalagi, meminta gratifikasi dari konsumennya yang sebenarnya bukanlah haknya.

Para ulama mengisyaratkan, jika memang ingin memberi tips atau hadiah kepada pegawai tersebut, berikanlah pada kondisi dan waktu yang tidak berkaitan dengan dunia kerjanya. Misalnya, memberikan hadiah pada waktu ia tak lagi sebagai pegawai. Wallahu'alam. 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement