Jumat 17 Jan 2020 14:03 WIB

Terlanjur Bersumpah untuk Maksiat. Apa yang Harus Dilakukan?

Para ulama berbeda pendapat merespon sumpah untuk bermaksiat.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nashih Nashrullah
Sumpah untuk bermaksiat pada dasarnya tidak diperbolehkan dalam Islam. Foto ilustrasi umat Islam tengah beribadah.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sumpah untuk bermaksiat pada dasarnya tidak diperbolehkan dalam Islam. Foto ilustrasi umat Islam tengah beribadah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Nazar merupakan tindakan orang mukallaf (Muslim baligh) yang mewajibkan sesuatu yang belum terjadi, atau berjanji akan melakukan niatnya apabila permohonannya dipenuhi. Namun, bagaimana hukumnya melakukan nazar untuk melakukan maksiat? 

Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid menjabarkan, ulama berbeda pendapat akan hal tersebut. 

Baca Juga

Menurut Imam Malik, Imam Syafi'i, dan sebagaian besar ulama yang lain, bila seseorang bernazar melakukan maksiat, nazar tersebut tidak wajib dilaksanakan. 

Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, Sufyan, dan ulama Kufah, nazar tersebut sudah berlaku ketentuan nazarnya. Akan tetapi, yang diwajibkannya adalah kewajiban membayar pelanggaran sumpah (kafarat), bukan kewajiban melakukan maksiatnya. 

Namun begitu, berdasarkan kesepakatan para ulama, nazar maksiat tidak boleh dilaksanakan. Sebab Nabi Muhammad SAW pernah bersabda yang artinya: "Barangsiapa bernazar untuk berbuat durhaka kepada Allah, janganlah ia durhaka kepadaNya." 

Menurut pendapat Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Imran bin Hashin, dan Samurah bin Jundub, orang yang bersangkutan wajib membayar kafarat sumpah. 

Pendapat berbeda, yakni yang bersangkutan tidak wajib membayar kafarat sumpah, diutarakan dari Imam Malik dan Imam Syafi'i. 

Terjadinya perbedaan pendapat mengenai boleh tidaknya nazar untuk melakukan maksiat, sebab munculnya beberapa hadis yang secara lahiriyah terkesan saling bertentangan dengan permasalahan tersebut. 

Pertama, hadis yang diriwayatkan Aisyah. Rasulullah SAW bersabda: 

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلَا يَعْصِهِ

"Man nazara an yuthi'allaha falyuthi'hu, wa man nazara an ya'shiyahu fala ya'shihi. (Barangsiapa bernazar untuk taat kepada Allah, hendaklah dia taat kepada-Nya. Dan barangsiapa bernazar untuk durhaka kepada Allah, hendaklah dia jangan durhaka kepada-Nya)."  

Berdasarkan pengertian tekstual hadis tersebut, Ibnu Rusyd menjabarkan, sesungguhnya nazar berbuat maksiat tidak wajib dilaksanakan. Sedangkan hadis kedua yang menjadi acuan ulama lainnya adalah hadis riwayat Imran bin Hashin bin Abu Hurairah. 

Rasulullah SAW bersabda: 

لَا نَذَرَ فِيْ مَعْصِيَةِ اللهِ وَكَفَّارَتُهُ كَفَّارَةُ الْيَمِيْنِ

"La nazara fi ma'shiyatillahi, wa kaffaratuhu kaffaratul yamini. (Tiada ada nazar sama sekali untuk berbuat maksiat kepada Allah. Kafaratnya ialah seperti kafarat sumpah)."  

Hadis tersebut menunjukkan bahwa nazar maksiat tetap harus dilaksanakan dalam bentuk membayar kafaratnya. Yakni, harus membayar denda karena sumpahnya tapi bukan berarti harus berbuat maksiat sebagaimana yang dinazarkan. 

Adapun ulama yang mengkompromikan kedua hadis tadi mengatakan, hadis pertama mengandung pemberitahuan bahwa maksiat tidak boleh dilakukan. Sedangkan hadis kedua mewajibkan kafarat jika nazar maksiat sudah terlanjur diucapkan.  

Sedangkan para ulama yang mengunggulkan hadis yang diriwayatkan Aisyah menganggap, hadis yang diriwayatkan Imran bin Hashin dan Abu Hurairah tidak shahih. Sebab, jalur sanadnya hanya lewat Sulaiman bin Arqam yang merupakan seorang perawi yang diabaikan. 

Sementara hadis Imran bin Hashin hanya lewat jalur sanad Zuhair bin Muhammad, dari ayahnya, seorang perawi yang tidak dikenal identitasnya. Sedangkan ulama yang mengkompromikan keduanya, sikap mereka sudah jelas untuk mewajibkan kafarat atas pelanggaran sumpah bagi para pelakunya. 

Di sisi lain, nazar memang sebaiknya hanya dilakukan untuk hal-hal baik dan yang memiliki nilai manfaat. Sebab, Rasulullah SAW pernah memerintahkan seorang pemuda untuk menghentikan perbuatan mogok bicara, mogok berteduh, dan mogok duduk. 

Meski begitu, Ibnu Rusyd menjelaskan, aksi yang dilakukan seorang pemuda yang ditemui Rasulullah itu bisa jadi karena meniru nazar yang pernah dilakukan Maryam. 

Maka dari itu dia berkesimpulan, meski Rasulullah melarang pemuda tersebut menghentikan nazarnya, bukan berarti berdiri di bawah terik matahari itu dilarang. 

Tindakan itu masuk dalam kategori bukan maksiat, kecuali jika dilakukan dengan tujuan untuk menyiksa diri. Dan jika hal itu disebut maksiat, maka dasarnya adalah qiyas bukan nash.

 

  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement