REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati mengatakan KPAI memang mengusulkan Kemenag membuat regulasi terkait pencegahan kekerasan terhadap anak di lingkungan pendidikan berbasis agama.
"Sebenarnya, banyak kasus kekerasan mulai dari kekerasan fisik, psikologis bahkan seksual yang jarang dilaporkan. Padahal jika tidak dilaporkan, kasus-kasus yang sedikit ini bisa menjadi fenomena gunung es," ujar dia kepada Republika.co.id, Selasa (14/1).
Rita menekankan pemerintah perlu melakukan upaya maksimal sebagai tindakan pencegahan kekerasan terhadap anak, salah satunya yang terjadi di lingkungan pendidikan berbasis agama. "Regulasi ini tidak hanya mengatur sekolah pendidikan agama Islam, tetapi juga pondok pesantren dan madrasah, tetapi sekolah berbasis agama lainnya seperti sekolah katolik," ujar dia.
Rita menyayangkan banyak kasus yang terjadi tetapi tidak dilaporkan, baik pelaku maupun korban hanya menyelesaikannya begitu saja. Menurut dia, penting bagi sekolah melakukan pencegahan kekerasan sehingga ke depannya dapat tercipta sekolah ramah anak dan pondok pesantren ramah anak.
Banyak penyebab yang menjadi alasan pelaku melakukan tindakan kekerasan. Bisa jadi penyebab kekeeasan itu bukan sekolahnya, tetapi lingkungan pertemanan dan pola asuh kedua orang tua.
Karena sebenarnya pendidikan itu bukan hanya tanggung jawab sekolah saja, tetapi juga orang tua dan masyarakat. Kekerasan yang dilakukan sesama anak-anak sering terjadi karena mereka sedang mencari tumbuh kembang yang benar.
Untuk menindak anak-anak sebenarnya bukan efek jera, itu menjadi ranah hukum. Tetapi bagi sekolah seharusnya bagaimana menciptakan situasi yang ramah anak dengan membangun karakter mereka.
Kedisiplinan saat ini menjadi masalah utama di setiap sekolah. Pelaku kekerasan nantinya perlu diberikan pemahaman agar tidak kembali melakukan tindakan yang sama.
Sebagai sekolah yang berbasis agama, seharusnya memang kekerasan dapat diminimalisasi, tetapi beberapa kasus memang kerap terjadi dan itu dilakukan oknum guru. Ini yang seharusnya dapat dicegah oleh yayasan atau pondok pesantren.
Menurut Rita, pengelola sekolah, madrasah, dan pondok pesantren perlu melakukan seleksi tidak hanya kemampuan intelektual dan pemahaman saja. Tetapi juga, tentang karakter dan psikologi mereka.
"Jangan sampai sekolah, madrasah, pondok pesantren menerima pengajar yang memiliki kecenderungan untuk melakukan tindakan kekerasan," ujar dia.
Rekam jejak guru yang akan mengajar juga perlu diperhatikan. Karena bisa jadi, perilaku dia di sekolah sebelumnya tidak tercatat karena kekerasan yang dilakukan tidak dilaporkan sehingga dia bisa bebas pindah kemana saja tanpa ada yang mengetahui.