REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menilai sepanjang 2017-2019, kasus kekerasan anak yang terjadi di pondok pesantren cukup tinggi, meski tidak seluruhnya dilaporkan kepada KPAI. Namun hingga saat ini penyelesaian kasus -kasus yang terjadi sangat minim.
"Kerap kali ketika terjadi kekerasan kepada santri, kiai hanya memanggil orang tua yang marah anaknya mendapatkan kekerasan, kemudian diberikan air putih dengan doa, kemudian masalah selesai, bahkan mereka mencabut laporannya dari kami,"ujar dia kepada Republika.co.id, Selasa (14/1).
Retno mengakui tidak dapat berbuat banyak, karena tidak ada regulasi yang mendukung mereka untuk memproses masalah tersebut. Bahkan akses masuk ke pondok pesantren untuk penanganan pun mereka mengalami kesulitan.
Di tahun 2019 misalnya, Retno pernah menangani satu kasus kekerasan seksual di Ponpes Langkat. Pelaku merupakan pemimpin ponpes yang melakukan sodomi kepada anak usia 15 tahun.
Meski kasus yang terjadi di Ponpes ini terjadi satu dari 21 kasus. Tidak menutup kemungkinan, fakta di lapangan kasus serupa lebih banyak terjadi, hanya tidak dilaporkan dan diproses.
Apalagi di ponpes di mana anak tinggal selama 24 jam dan baru pulang ke rumah ketika akhir semester. Berbeda dengan anak yang sekolah di sekolah umum, mereka mengalami kekerasan dicubit saja, orang tua sudah marah besar hingga pelaporan.
Berbeda dengan ponpes, jika kekerasan terjadi di madrasah, KPAI masih mampu menangani, karena lebih terbuka memberikan akses. Sebenarnya regulasi ini tidak hanya dibutuhkan untuk sekolah yang berbasis agama Islam saja, tetapi semua agama seperti sekolah kristen atau sekolah katolik.
Semua sekolah berbasis agama membutuhkan regulasi ini untuk melindungi anak-anak dari kekerasan baik, fisik, verbal, seksual dari sesama teman maupun guru dan pihak sekolah.
Retno menilai, Kementerian Agama dapat meniru Permendikbud no 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan untuk membuat Peraturan Menteri Agama (PMA) tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Terhadap Anak di Satuan Pendidikan Berbasis Agama.
"Regulasi yang dimiliki oleh Kemendikbud untuk penanganan kekerasan di sekolah lebih komprehensif, ini berarti mereka lebih perhatian dibandingkan dengan Kemenag yang hingga saat ini belum ada aturan untuk menangani kekerasan di lingkungan madrasah maupun pondok pesantren,"jelas dia kepada Republika.co.id, Selasa (14/1).
Sehingga sudah tepat jika Kemenag saat ini berkomitmen untuk segera menyelesaikan regulasi ini. Menurut Retno PMA yang akan dibuat ini merupakan hasil Rapat Terbatas bersama Presiden Joko Widodo dengan mengundang KPAI pada 26 Desember 2019.
Dalam Permendikbud tersebut jika dijalani baik di sekolah umum maupun di lingkungan Kementrian Agama dapat mengurangi angka kekerasan.
Sayangnya, menurut Retno, sekolah umum saat ini juga masih belum memahami isi dari aturan tersebut.
"Kami pernah mendatangi sekolah umum yang memiliki kasus kekerasan, setelah kami tanya soal permendikbud tersebut, baik guru maupun kepala sekolah tidak mengetahui adanya aturan tersebut,"ujar dia.
KPAI perlu mendorong penerapan regulasis ini di semua sekolah termasuk jika kemenag membuat PMA nantinya. PMA tersebut ddapat ditambahkan poin yang tidak kalah penting tentang cyber bullying.
Karena saat ini perundungan tidak hanya dilakukan secara langsung tetapi banyak teman-teman sebaya yang melakukannya di media sosial.
Poin-poin penting lainnya yang harus dimasukkan ke dalam PMA seperti jika kekerasan dilakukan oleh peserta didik, guru maupun orang tua harus dijelaskan cara penyelesaian.
"Dalam PMA juga harus tercantum definisi kekerasan secara jelas berikut sanksi dan pihak terkait, termassuk sistem pengaduan, pencegahan dan penanganan kekerasan,"jelas dia