Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Traveller dan Penulis Buku
Sepatu-sepatu itu terlihat berserak di depan pintu. Mungkin jumlahnya 10-12 pasang. Dari dalam ruangan sesekali terdengar riuh suara tawa. Semua sepatu yang terlihat adalah sepatu laki-laki. Juga riuh tawanya.
Ini adalah chayxona atau chaykhana. Kalau kedai kopi merupakan peninggalan Daulah Utsmani, maka kedai teh merupakan bagian dari tradisi di Asia Tengah yang masih dilestarikan hingga kini.
Di sepanjang Jalur Sutra banyak berdiri choyxona atau chaykhana. Chay berarti “teh” dan khana berarti “rumah”.
Teh disajikan menggunakan cawan (pyola) dari teko keramik (choynik). Teh hijau (kok choy) adalah minuman pilihan pertama, di samping teh hitam (quora choy).
Tradisi nge-teh di chayxona adalah tradisi laki-laki. Pada masanya perempuan tak boleh ikut. Dan itu masih lestari hingga kini. Dua minggu sekali atau sebulan sekali, para lelaki ini akan membuat janji temu. Semacam agenda arisan ibu-ibu kalau di sini.
“Saya tidak terlalu menyukainya, Ibuku,” kata Sanjar saat kita menikmati makan malam di sebuah restoran di Khiva yang di bagian bawah restoran itu digunakan sebagai chayxona.
“Hanya omong kosong yang tidak perlu. Saling menceritakan kehebatan masing-masing. Lebih baik saya di rumah bersama keluarga,” lanjutnya.
Saya membayangkan tradisi ini mirip dengan wedangan di Solo. Menikmati wedang jahe atau es teh kampul sambil bicara ngalor-ngidul.
Menu makanan Khiva yang disiapkan di restoran Tashkent
Beberapa chayxona juga menyediakan restoran untuk keluarga. Seperti yang saya nikmati di Khiva malam itu. Menu yang disajikan adalah ikan goreng yang dibumbui daun dill.
Tak seperti di Indonesia yang hasil lautnya berlimpah, negera-negara di Asia Tengah, terutama Uzbekistan tak memiliki laut.
Jadilah seafood termasuk makanan mewah. Kalaupun ada ikan yang tersedia, itu adalah ikan air tawar yang dibudidayakan.
Di depan restoran yang merangkap chayxona ada empang kecil. Ikannya gemuk-gemuk berenang kesana-kemari. “Itu ikannya apa tidak kedinginannya ya di suhu udara minus seperti sekarang?” tanya Lambang heran.
Restoran merangkap chayxona lainnya yang pernah saya nikmati adalah sewaktu berada di Namangan beberapa hari sebelumnya. Chust Chaykhana nama tempatnya.
Saya dan Lambang dijamu Pak Mansur Yuldashev. Pria asli Namangan ini adalah dosen yang membuka program studi Bahasa Indonesia di Tashkent State Institute of Oriental Studies.
Istimewanya, signature dish restoran ini yakni osh atau nasi pilaf disiapkan oleh chef Shokhzamon. Seorang master chef yang sering memenangi kejuaraan memasak di Uzbekistan.
Teh selalu selalu muncul dalam setiap kesempatan. Makan pagi, makan siang, makan malam, suguhan untuk tetamu.
Karena tak ada budaya ngopi di sini. “Ngopi itu budaya modern. Tradisi kami minum teh,” jelas Sanjar.
Sebagai penggemar teh, tentu saya merasa senang. Saya selalu memilih quora choy (teh hitam), ketimbang kok choy (teh hijau) atau teh lemon.
“Di mana ada perkebunan teh di sini?” Tanya saya.
“Di sini tidak ada perkebunan teh, Ibuku. Teh ini didatangkan dari India dan Cina, sejak zaman dulu,” jelas Sanjar.
Ini menarik, karena tradisi ini sudah mengakar kuat selama berabad-abad, namun sebenarnya teh tidak ditanam di wilayah ini.
Teh merupakan salah satu komoditas yang diperdagangkan di sepanjang rute Silk Road. Seperti halnya rempah-rempah yang dibawa dari nusantara.
Dalam buku “Old World Encounters: Cross-Cultural Contacts and Exchanges in Pre-Modern Times” yang ditulis sejarawan Amerika, Jerry Bentley, disebutkan bahwa aktivitas perdagangan di Jalur Sutra merupakan faktor penting dalam perkembangan peradaban di Cina, anak benua India, Persia, Eropa, dan Jazirah Arab.
“Jalur ini menjadi sarana penghubung yang membuka interaksi politik dan ekonomi antarperadaban pada zaman kuno,” ungkapnya.
Suasana pegununungan di jalur sutra yang tertutup salju
Total rute Jalur Sutra sepanjang 35 ribu km. Yang melintasi berbagai bangsa seperti Persia, Yunani, Suriah, Romawi, Armenia, India, dan Baktrian (masyarakat Afghanistan dan Uzbekistan kuno), juga bangsa Arab.
Secara resmi pada 22 Juni 2014, UNESCO menetapkan jalur Sutra sepanjang 5.000 km yang membentang dari Cina Tengah hingga wilayah Zhetsyu di Asia Tengah sebagai Situs Warisan Dunia (World Heritage Sites).
Rute ini dikenal sebagai Koridor Chang'an-Tianshan. Saya berkesempatan mengunjungi lereng pegunungan Tianshan yang berada di wilayah Chimgan, Uzbekistan. Yang sekarang digunakan sebagai obyek wisata untuk bermain salju di musim dingin.
Naik kuda melintasi lereng pegunungan bersalju, sungguh mendebarkan. Saya membayangkan seperti inilah para mujahidah yang hendak berangkat jihad dan berdakwah.
Sejarah mencatat, bagi umat Islam Jalur Sutra bukan sekadar rute dagang, namun juga rute dakwah yang penting untuk menyebarkan cahaya Hidayah.
Tashkent, 10 Januari 2020