Kamis 09 Jan 2020 04:31 WIB

Journey to Silk Road: Melintasi Border Tazikistan

Orang Asia Tengah yang terbagai banyak negara berkomunikasi dengan bahasa Rusia

Tembok tua khas Tazikistan.
Foto: Uttiek M Panjiastuti
Tembok tua khas Tazikistan.

Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Traveller dan Penulis Buku

Jalanan di depan tiba-tiba terbelah. Ada semacam got kecil selebar setengah meter membujur panjang mengikuti kelokan jalan.

"Ini bagaimana kita lewat?" Tanya Doni, yang membuat kita bertiga terdiam.

Dari panduan GPS yang kita ikuti, arah jalan ini sudah benar menuju Kok-Gumbaz Sultan Abdulatif. Tapi kenapa tiba-tiba ada got lebar di tengah jalan?

"Sudah kita lewati saja," tukasnya sambil menginjak pedal gas.

Saya yang deg-degan hanya bisa beristighfar. Mobil kita seperti berjalan di atas tempat mencucian mobil yang ada lubang di bawahnya untuk membersihkan mesin. Bisa membayangkan ya? Tapi lubang itu memanjang, entah sampai mana.

Tiba-tiba dari arah berlawanan muncul mobil lain. "Waaa... bagaimana?" Jerit saya. Untunglah mobil itu menikung ke kiri di sebuah perempatan kecil. Berempat kita tertawa lega.

Doni yang menyupir adalah adik sepupu Sanjar. Umurnya baru 24 tahun. Pernah mendapat beasiswa program studi bahasa Indonesia di Universitas Atmajaya, Jakarta. Lalu tinggal 2 bulan di kota Malang.

Ganteng? Uhuk! Lihat saja fotonya.

Tingkahnya spontan. Kelakarnya membuat perjalanan ini menjadi seru. Kata favoritnya adalah, "Enggak tauuu," yang diucapkan dengan logat lucu.

Sekalipun terlihat semaunya seperti anak muda seumurannya, namun jangan tanya ketulusan hatinya. Dia sangat baik dan polos. Juga bertanggung jawab.

Seperti semalam, ia mengirim pesan menjelang tengah malam, "Ibuku ini saya cuci mobilnya. Kemarin jelek agak kotor, minta maaf ya," sambil mengirimkan foto mobilnya yang tengah dicuci di tempat cucian mobil.

Saya sampai terharu menerima pesan itu. Jangan bayangkan seperti di Indonesia. Karena di musim dingin, menjelang tengah malam seperti itu pasti suhu udaranya sudah dibawah 0 derajat. Apalagi semalam turun salju. Bisa dibayangakn seperti apa dinginnya.

Kemampuan menyupirnya tak perlu diragukan. Ia bercerita pernah menyupir Tashkent-Samarkand yang jaraknya 300 km di pagi hari dan sorenya sudah kembali lagi. Total sehari itu ia menyupir lebih dari 700 km. Kita bertiga memanggilnya "Schumacher".

Setelah melewati got di tengah jalan itu, bangunan yang kita cari mulai terlihat di depan sana. Tembok tua, kubah biru, lengkung iwan yang khas, sebagian tertutup salju. Menyuguhkan pemandangan dramatis.

Saya selalu berdebar-debar saat menemukan bangunan seperti ini. Membayangkan seperti apa suasana dan kemegahannya di masa lalu.

Seorang perempuan tua bergigi emas menyambut di gerbang. Ia mengucapkan salam dan mengatakan beberapa hal dalam bahasa Rusia yang dijawab Sanjar menggunakan bahasa Rusia juga.

Gambar mungkin berisi: pohon, salju, tanaman, langit dan luar ruangan

Akar bahasa Tajik adalah bahasa Parsi. Kebudayaan mereka lebih dekat dengan Persia. Sedang akar bahasa Uzbek adalah bahasa Turk. Bahasa yang sama yang digunakan di Turki, Kazahstan, hingga saudara-saudara kita di Uighur.

Tapi bahasa Rusia dikuasai oleh semua penduduk bekas jajahan Uni Soviet. Dengan bahasa itu mereka berkomunikasi antar negara Stan.

Perempuan tua yang bernama Bu Mukarram mempersilakan kita masuk. Ia adalah penjaga tempat itu. Dijelaskannya beberapa hal pada saya. Tentang bangunan yang didirikan oleh Mirza Abdulatif putra Mirza Ulugh Beg.

Bangunan utama dulunya adalah masjid. Mihrab berhias mozaik masih terlihat indah. Ada beberapa bagian mozaik telah tercongkel. Rupanya dulunya bagian itu berhias emas. Saya tak bisa membayangkan seperti apa indahnya.

"Tangga ini menuju tingkap di atas. Saat musuh datang mereka naik ke sana, lalu pintu ini akan ditutup," jelas Bu Mukarram sambil menunjuk tangga yang tersembunyi di dalam kolom.

Tangga itu sempit, curam dan gelap. Jumlahnya sekitar 20-an anak tangga. Perlu senter handphone untuk meneranginya. Sewaktu kita merayap naik, rasanya seperti pasukan Gostbuster.

Gambar mungkin berisi: 1 orang

Bu Mukarram lalu mengajak mampir ke ruangan kecil yang ada di dekat pintu gerbang. MasyaAllah! Rupanya itu adalah perpustakaan kecil. Ada dua anak yang sedang belajar di sana.

Saya senang sekali menemukan perpustakaan kecil di sudut kota Istaravstan. Asia Tengah adalah permata peradaban.

Dari Kok Gumbaz Sultan Abdulatif kita menuju Khazrati-Shokh Mausoleum. Beberapa kali harus bertanya pada orang yang lewat, karena posisi situs bersejarah ini "nyempil" di antara bangunan-bangunan yang lebih modern.

Saya terkesan dengan keramahan orang Tajikistan. Mereka menjawab dengan lengkap saat ditanya arah jalan. Dan petunjuk arahnya benar.

Khazrati-Shokh Mausoleum adalah makam saudara Qossam Ibn Abbas, sepupu Rasulullah SAW. Makam Qossam ibn Abbas berada di Shah-i Zinda, Samarkand, yang sangat indah. Sedang makam Khazrati-shokh, sekalipun bangunannya indah, namun seperti terlantar.

Sewaktu kita datang tak ada orang. Sanjar langsung membuka pintu berukir kayu. Ada nissan batu yang sangat besar berselimut kain hijau di dalamnya. Lantainya beralas karpet warna merah. Tak ada siapa-siapa yang bisa ditanya.

Di depan mausoleum itu ada masjid besar yang masih difungsikan. Saya shalat dua rekaat di situ.

"Kita makan di situ ya, Ibuku," ajak Sanjar melihat restoran yang ramai di seberang Khazrati-Shokh Mausoleum.

Gambar mungkin berisi: 1 orang, makanan

Makanan di restoran ini disajikan secara buffet. Kita bisa memilih dan mengambil sendiri mana yang diinginkan. Salad segar, fresh jus, sup panas, dan aneka lauk dihidangkan berlimpah. Semua menu daging disajikan dalam potongan besar-besar. Lauk yang dipilih Lambang porsinya mungkin cukup untuk sekeluarga kalau di Jakarta.

Umur Tajikistan sudah sangat tua. Sudah ditinggali manusia sejak zaman batu. Negeri ini juga dilintasi Alexander the Great dalam ekspedisinya. Semua sejarahnya saya saksikan di Khujand Fortress pagi harinya.

Perjalanan penulisan buku saya kali ini sungguh penuh warna. Menggunakan mobil kita melintasi border negara-negara di Asia Tengah. Menyinggahi banyak tempat dengan jejak sejarah dan peradaban Islam. Bertemu dengan orang-orang baik yang memberi warna pada kehidupan.

Tajikistan, 7 Januari 2020

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement