REPUBLIKA.CO.ID, Dalam berbagai literatur Islam, terdapat kisah yang sangat menarik untuk dapat ditarik hikmahnya dari istri Nabi Muhammad SAW, Sayyidah Aisyah rhadiyallahu anha. Dikisahkan, Sayyidah Aisyah kala itu tengah berinfak memberikan sekeping dirham kepada pengemis di depan pintu rumahnya.
Sekeping dirham tersebut beliau kemas dengan wewangian sebelum diberikan kepada si pengemis. Para sahabat yang menyaksikan itu lantas bertanya untuk apa sekeping dirham tersebut diberikan wewangian? Maka, Sayyidah Aisyah menjawab: “Sesungguhnya sekeping dirham itu akan berada di tangan Allah terlebih dahulu sebelum jatuh ke pengemis,”.
Artinya, jawaban beliau membuktikan bahwa dirinya kerap berusaha menyucikan jiwa dari penglihatan manusia tatkala memberikan sekeping dirham kepada seorang pengemis. Sedari awal, niatnya berinafak adalah hanya karena Allah semata. Sehingga tak perlu mengurusi nilainya, infak dan niat yang dilakukan yang terpenting adalah suci dan tulus, bukti ketakwaan seorang hamba.
Menurut Zainab al-Ghazali dalam bukunya berjudul Doktrin Nabawi disebutkan, niat memang bersumber dari hati. Sedangkan lisan akan menerjemahkan perasaan, kecenderungan, dan semua yang tebersit dari hati.
Jika dia menerjemahkannya secara benar, maka yang keluar dari diri manusia adalah kebenaran yang jelas. Sebaliknya, jika didahului niat jahat, maka hal itu merupakan tahap awal dari kemunafikan.
Menurut beliau, hati dapat memberikan berbagai isyarat pada indera luar yang harus digerakkan. Dan jasad akan menerjemahkan dengan bergerak sesuai dengan isyarat-isyarat tersebut. Isyarat itulah yang kemudian dapat mengendalikan manusia apakah amalnya itu ditujukan kepada Allah dan bersama Allah, atau justru ditujukan dan bersama dengan setan.