REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia Jimly Asshiddiqie menuturkan, 2019 ini dilalui dengan banyak masalah. Menurut dia, persoalan yang baru dan paling menonjol pada tahun ini tentu terkait gelombang polarisasi kebangsaan dalam isu-isu tertentu, khususnya SARA.
"Cara pandang seolah terbelah. Dan kita bersyukur capresnya jadi menteri, nah ini meredakan ketegangan. (Tapi) politik identitas menguat, dan ini tidak sehat untuk diteruskan," ujarnya saat di kantor ICMI Pusat, Jakarta, Jumat (27/12).
Jimly menyadari masih ada sisa gelombang polarisasi seusai proses Pemilu 2019. Keadaan tersebut, menurutnya telah dimulai sejak Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Sisa polarisasi ini kata dia masih mendominasi media sosial (medsos).
Persoalan polarisasi ini menjadi pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan pada 2020. Dia mengakui masalah tersebut tentu tidak bisa langsung diatasi meski kandidat capres 2019 sudah diangkat menjadi menteri.
"Masih ada sisa-sisa polarisasi di medsos dan medsos ini pengaruhnya sangat dominan membentuk perilaku kita. Orang bisa menyembunyikan identitas dan saling maki. Bahkan menghujat agama dan etnis. Agama Islam saja dihujat oleh orang Muslim karena mereka bisa menyembunyikan identitas," ucap dia.
Jimly mengakui memang ketegangan politik di tingkat elite mereda tetapi ini belum terlihat di medsos. Dia berpandangan, bila terus seperti ini, ke depannya medsos dapat memelihara ketegangan tersebut sekaligus menciptakan iklim permusuhan dan kebencian di ruang publik.
Ia pun mengingatkan agar jangan sampai teknologi digital merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.
"Maka jangan sampai kita mengeluarkan sikap hanya karena informasi di medsos. Lalu bagaimana mendidik masyarakat? Medsos ini kan enggak bisa dicegah. Kalau internet diblok itu bukan solusi. Jadi kuncinya adalah bagaimana kita membuat manusia itu enggak baper (bawa perasaan)," ungkap dia.