REPUBLIKA.CO.ID, Perhatian pemerintah terhadap isu radikalisme — terutama pada umat Islam — kian membesar. Lewat berbagai perangkat aturan, negara melekatkan radikalisme pada terorisme. KH Salahuddin Wahid, pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, mengajak segenap elemen bangsa untuk memaknai kembali radikalisme.
Lewat Seminar Nasional bertajuk "Silang Pendapat Makna Radikalisme" di Pondok Pesantren Tebu Ireng pada Sabtu (21/12), Gus Sholah meng ungkap apa saja yang perlu dievaluasi dalam istilah radikalisme. Berikut kutipan sambutan dan wawancaranya.
Apa tujuan digelarnya seminar untuk memaknai radikalisme ini?
Jadi, istilah radikalisme itu mempunyai pemaknaan yang berbeda-beda antara kelompok satu dengan kelompok lainnya. Itu ingin diluruskan. Kita semua tidak setuju dengan tindakan terorisme. Tapi, kalau menggunakan kata radikalisme terlalu berlebihan juga tidak benar.
Pada Oktober yang lalu saya diundang memberikan ceramah di Universitas Atmajaya, Serpong. Panitia yang menyambut kami memakai kaus nasionalis radikal. Saya tanya apa maksudnya nasionalis radikal? Maksudnya adalah nasionalisme yang sungguhsungguh. Artinya dalam istilah itu, kata radikal mengandung makna yang positif. Kalau yang negatif untuk nasionalisme adalah ultranasionalisme atau chauvinisme.
Tetapi, dalam pengertian islam radikal, kata radikal menjadi negatif. Ini kan terdapat kesimpangsiuran tentang makna kata radikal.
Muhammad Isnur, ketua bidang advokasi YLBHI, mengatakan, definisi radikalisme yang digunakan pemerintah tidak jelas. Dia mengimbau, pemberantasan radikalisme tidak menimbulkan stigma di tengah masyarakat. Misalnya, satu kelompok atau seseorang yang taat beragama begitu saja dicap sebagai pendukung radikalisme hanya karena cara berpakaian.
Rencana pemerintah memberantas radikalisme?
Pengertian radikalisme orang berbeda-beda memahaminya. Bisa ndak disamakan gitu.
Terminologi mungkin dalam ajaran yang digeluti para kiai, ada kata untuk menggantikan istilah radikalisme?
Yang saya sampaikan, Pak Haedar Nasir menggunakan istilah moderasi beragama. Kementerian agama juga. Moderasi beragama itu ya Islam Washatiyah. Kita harus duduk bersamalah.
Upaya pemerintah memberantas radikalisme sudah tepat?
Itu yang dianggap berlebihan. Masa PAUD, majelis taklim dikatakan radikalisme, kan berlebihan. Jangan lah berlebihan. Kalau ini berlebihan, malah negatif jadinya. Semua tidak ada yang setuju denngan terorisme.
Di balik istilah radikalisme, ada kegagalan mendefinisikan beberapa inti persoalan dengan tepat, akurat, dan disepakati bersama. Selama ini, banyak yang mengatakan bahwa intoleransi bisa meningkat jadi radikalisme, lalu menjadi terorisme. Menurut Hasubullah Satrawi, dalam kenyataannya, tidak selamanya begitu. Seb gian orang jadi teroris tanpa melalui radikalisme. Sebaliknya, tidak selalu pengikut radikalisme menjadi teroris.
Karena istilah radikalisme bersifat problematis karena cenderung liar dan subjektif, maka, menurutnya, istilah deradikalisasi juga mengandung ma salah yang sama. Menurut UU tentang pemberantasan tindak pidana teroris me, objek deradikalisasi adalah mere ka yang sudah terpapar terorisme. Untuk upaya deradikalisasi terhadap warga yang belum terpapar terorisme tidak disebut dengan istilah deradikali sasi, tetapi kontra radikalisasi.
Mau dibawa ke mana hasil diskusi di seminar ini?
Hasilnya kami sampaikan ke pemerintah, ke BNPT, ke Kemenag, dan yang lainnya.