Rabu 25 Dec 2019 11:18 WIB

PCINU Inggris dan PCINU Belanda Ajukan Catatan RKUHP

Pembahasan RKUHP harus dibahas multidisiplin ilmu.

(ilustrasi) logo nahdlatul ulama
Foto: tangkapan layar wikipedia
(ilustrasi) logo nahdlatul ulama

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON— PCI Nahdlatul Ulama Inggris (PCINU UK) bekerjasama dengan PCINU Belanda, menyelenggarakan kajian daring dengan tema "Menimbang RKUHP dan Masa Depan Demokrasi Indonesia". Kajian ini terselenggara pada Selasa (24/12).  

Agenda ini menghadirkan narasumber Fachrizal Afandi (dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dan kandidat doktor Leiden Law School, Belanda) dan dimoderatori Agus Mahardiyanto (dosen Universitas Negeri Jember dan visiting researcher di University of Southampton).  

Baca Juga

Menurut Fachrizal, penting untuk melihat  RKUHP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dari sudut pandang multidisiplin. Karena, banyak sekali pasal yang harus dipahami. 

"Sekarang ini, kita jalan di trotoar saja, kita bisa ditangkap polisi. Ada 400 pasal yang bisa menjerat kita tanpa tahu. Kita bisa dipidana sewaktu-waktu," jelas Fachrizal.

Dalam pandangan Fachrizal, ada beberapa problem krusial dalam pembahasan ini. "Di antara yang agak ruwet, hukum adat dalam konstitusi itu seharusnya setara dengan hukum nasional. Ini kok dijadikan perda. Dan perdanya juga belum ada. Di antara keruwetan lain, negara belum ada data valid tentang daerah mana yang masih menerapkan hukum adat," terang Fachrizal.

Fachrizal Afandi menjelaskan, ada logika kekuasaan di balik RKUHP ini. "Kalau pagi logika kekuasaan, siapa sih tidak mau memberikan legacy? Ini yang saya lihat, sebagian besar yang ngotot terkait RKUHP itu terlihat hanya ingin mewariskan legacy. Iya kalau legacy-nya nanti bagus, kalau buruk, bagaimana?"

Dia menegaskan RKHUP harus dibahas dengan serius dan multidisiplin. Karena, RKUHP ini isunya tidak hanya milik orang-orang hukum semata.

Kandidat doktor Leiden Law School Belanda ini, menjelaskan misalnya, pasal-pasal tentang pers, tidak bisa hanya mengandalkan dari orang hukum saja, harus mengajak orang-orang ahli pers dan pelaku jurnalisme. Hal ini sangat penting,” tutur dia.  

Dalam risetnya, Fachrizal menjelaskan harus ada pemilahan antara pasal-pasal buruk warisan kolonial, atau pasal yang masih relevan dipakai. "Saya merasa, pasal-pasal yang sudah bagus, harus didorong untuk tetap dipakai. Kita perlu melokalisasi revisi pada pasal-pasal yang sudah tidak relevan, atau pada pasal-pasal yang dianggap kacau," terangnya.

Dia menjelaskan, jika di pesantren ada kaidah  yang sangat pas sebagai perspektif yaitu dar'ul mafasid, muqaddamun 'ala jalbil mashalih yang maknanya kurang lebih: “tolak yang buruk, dahulukan yang baik.”

Fachrizal menjelaskan kaidah pesantren ini sangat tepat untuk menjadi cara pandang terhadap RKUHP. Pasal tentang penodaan agama masih ada sampai sekarang. Dulu Gus Dur pernah mendorong agar pasal ini dihapus. 

"Dulu ada pasal penodaan agama yang dengan verbal "secara sengaja". Sekarang ini, dua kata 'dengan sengaja' dihapus. Ini konsekuensinya sangat besar lho. Bayangkan, jika dulu mereka yang dianggap menodai agama, harus melewati uji kesengajaan. Sekarang ini tidak usah ada uji sengaja atau tidak. Ini bisa bahaya, siapapun bisa diseret ke pengadilan dengan delik aduan penodaan agama," ungkap Fachrizal.

Dalam pandangan Fachrizal, jika RKUHP didorong dengan semangat dekolonisasi, harus ada penjelasan yang tepat bagaimana strateginya. "Pada masa kolonial, Belanda ingin mengeksploitasi pribumi untuk menyerap keuntungan, power, dan sumber daya. Nah, pasal-pasal yang berpotensi demikian, harus kita pilah, yang menjadi fokus pembahasan. Kan, tidak semua yang berasal Eropa itu buruk. Kita ambil yang bagus, kita tolak yang jelek."  

Fachrizal mengapresiasi lembaga-lembaga riset dan NGO yang meneliti tentang RKHUP. Dia juga mengajak peneliti dan dosen di berbagai perguruan tinggi untuk menulis dan publikasi gagasan yang mudah diserap serta mencerahkan publik. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement