REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Iran, Malaysia, Turki dan Qatar sedang mempertimbangkan perdagangan di antara mereka sendiri dengan menggunakan emas dan sistem barter. Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad mengatakan langkah tersebut diambil sebagai perlindungan nilai terhadap sanksi ekonomi di masa depan, Sabtu (21/12).
Pada akhir KTT Islam di Malaysia, Tun Mahathir memuji Iran dan Qatar karena bertahan dalam embargo ekonomi. Dia menambahkan penting bagi dunia Muslim untuk mandiri menghadapi ancaman di masa depan.
"Dengan dunia yang membuat keputusan sepihak untuk memaksakan tindakan menghukum seperti itu, Malaysia dan negara lain harus selalu ingat hal itu dapat dikenakan pada salah satu dari kita," katanya, dilansir di Straits Times, Ahad (22/12).
Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain dan Mesir memutuskan hubungan diplomatik dan perdagangan dengan Qatar sekitar 2,5 tahun lalu. Keempat negara menyatakan Qatar mendukung terorisme.
Iran, sementara itu, telah terkena imbas yang parah setelah sanksi Amerika Serikat kembali diberlakukan pada tahun lalu. "Saya menyarankan kita kembali pada ide perdagangan menggunakan Dinar emas dan barter perdagangan di antara kita. Kami serius dan berharap akan dapat menemukan mekanisme untuk melakukannya," kata Mahathir, mengacu pada koin emas abad pertengahan Islam.
Para pemimpin sepakat mereka perlu melakukan lebih banyak bisnis di antara mereka sendiri dan berdagang dalam mata uang masing-masing. KTT Kuala Lumpur dikritik karena mengecilkan upaya Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang mewakili 57 negara mayoritas Muslim.
Malaysia mengatakan semua anggota OKI telah diundang ke KTT Kuala Lumpur, tetapi hanya sekitar 20 negara yang muncul. Pada hari keempat dan terakhir dari puncak, tidak ada pernyataan bersama yang dirilis. KTT ini diharapkan mendiskusikan masalah utama yang mempengaruhi umat Islam, termasuk Palestina, Kashmir, penderitaan Muslim Rohingya di Myanmar, dan kamp China bagi Muslim Uighur di wilayah Barat Xinjiang.
Tanpa menyebut negara, Mahathir mengatakan ada kekhawatiran umat Islam di negara non-Muslim dipaksa menjalani asimilasi. "Kami mendukung integrasi, tetapi asimilasi dengan tingkat menghapus agama tidak dapat diterima," katanya.
Pada sebuah jumpa pers kemudian, ia berkata para peserta KTT telah diberitahu bahwa Uighur ditahan di China. "Kita harus mendengar keadaan, kita harus mendengar orang yang mengeluh, maka dengan begitu akan adil," kata pemimpin Malaysia.
Dia juga menyesalkan amandemen UU kewarganegaraan India. UU ini memfasilitasi naturalisasi imigran non-Muslim yang lebih cepat dari Afghanistan, Bangladesh, dan Pakistan yang menetap di India sebelum 2015.