REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Musibah merupakan ketetapan Allah yang, boleh jadi, teramat berat bagi umat manusia. Terlebih musibah seperti kematian datangnya tak terduga. Bisa kapan saja dan berupa apa saja.
“Seperti itulah yang menimpa Palu setahun silam. Kala itu sore jelang Maghrib, tidak ada tanda-tanda sebelum gempa besar itu terjadi. Bahkan saat gempa besar yang mengguncang itu masyarakat tetap tenang, karena di Palu gempa-gempa kecil biasa dirasakan. Maka semua merasa biasa kala gempa besar itu terjadi karena yakin tidak akan ada tsunami,” terang Ketua DPW Hidayatullah Sulawesi Tengah, Muhammad Arsyad dalam tausiyah bakda Shubuh di Masjid Baitul Karim, Gedung Pusat Dakwah Hidayatullah, Jakarta, Rabu (18/12).
Begitu teriakan “Ada tsunami!”, Arsyad bersama warga dan seluruh santri berhambur meninggalkan pesantren Hidayatullah Palu yang berada tidak jauh dari Universitas Tadulako itu.
“Air saya lihat tinggi sekali setelah guncangan yang mengangkat semua yang dilewatinya. Semua panik, dan berteriak ‘Air! Air!’ .Tapi tiba-tiba dekat pesantren, air merendah dan tak terlihat. Sedangkan samping kanan dan kiri lokasi pesantren, air tinggi itu terlihat semakin tinggi dan kuat menghempas semua yang di pantai,” lanjut Arsyad mengisahkan seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Seketika itu, kata Arsyad, kota Palu lumpuh, mati. Tidak ada makanan. Mayat bergelimpangan di mana-mana. Masyarakat ketakutan.
“Alhamdulillah berbekal keyakinan kepada Allah, seluruh warga dan santri Pesantren Hidayatullah usai tsunami, terjadi kembali ke pesantren. Rasa takut muncul luar biasa, tapi kita memang sudah lemah, tidak bisa apa-apa, tawakal saja kepada-Nya,” ungkapnya.
Namun, seiring berjalannya waktu, di tengah perasaan yang sudah tidak menentu, ternyata terbukti janji-janji Allah.
“Masya Allah, saat kami ketakutan, makanan tidak ada, listrik padam, bensin tidak ada, datang teman-teman SAR, datang bantuan dari beragam pihak, dari BMH, dari Baznas, Basarnas, Al-Khairat, Jakarta Islamic School (JISc). Sehingga, kami segera sadar bahwa kami tidak sendiri. Allah kirim bantuan demi bantuan, hingga kini Pesantren Hidayatullah Palu bangkit dan kembali membangun. Sekolah dua lantai telah dibangun. Asrama juga sedang dibangun. Allah datangkan mobil lewat hamba-hamba-Nya. Sehingga, pesantren punya mobil keluaran terbaru, yang sebelumnya hanya memiliki mobil-mobil tua,” urai Arsyad di hadapan jamaah shalat Shubuh yang sebagian adalah peserta Rakernas Hidayatullah.
Keberkahan pun kian terasa. Bukan sekedar bantuan yang datang, para ulama, tokoh umat, pegiat dakwah datang berkunjung ke Pesantren Hidayatullah Palu.
“Subhanallah, dalam kondisi pesantren yang seperti itu, datang ulama-ulama kita. Ada Ustaz Abdul Somad, Ustaz Fadhlan Garamatan, dan para pegiat dakwah lainnya dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka datang dan bermalam di pesantren, Alhamdulillah,” ungkap Arsyad dengan raut wajah penuh kebahagiaan.
Meski demikian, kata dia, Palu belum seutuhnya bangkit. Masih ada masyarakat yang hingga saat ini harus rela tinggal di tenda-tenda yang sudah lapuk, sobek-sobek.
“Tak kuasa kami melihat, namun apa daya, kami belum bisa membantu mereka. Maka marilah bersyukur. Lihatlah saudara-saudara kita yang hingga kini masih tidur di atas tanah beratap tenda lapuk. Apabila ada rezeki, mari bantu mereka. Kita sapa dan berikan sedikit yang kita miliki untuk mereka,” serunya.
Dalam arena Rakernas Hidayatullah, menjadi agenda yang rutin dilaksanakan secara kultur adalah taushiyah setiap usai shalat, terutama usai Shubuh dan Maghrib. Dai yang naik ke mimbar adalah hasil pilihan panitia, yakni dai yang dinilai memiliki pengalaman ruhiyah yang mendalam dalam menjalani tugas dakwah di Tanah Air.