REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wakaf produktif dinilai dapat menjadi solusi dalam membangun pendidikan yang berkualitas di Indonesia, khususnya lembaga pendidikan Islam. Karena, dari hasil wakaf produktif tersebut dapat digunakan untuk membiayai guru maupun murid.
Ketua Divisi Pembinaan dan Pemberdayaan Badan Wakaf Indonesia (BWI), Hendri Tanjung, mengatakan pendidikan saat ini membutuhkan biaya yang besar. Namun, saat wakaf diproduktifkan akan bisa menyelenggarakan pendidikan gratis untuk umat. "Pendidikan ini kan perlu biaya besar. Wakaf produktif inilah yang bisa menjadi solusi. Begitu wakaf diproduktifkan hasilnya itu bisa digunakan untuk pendidikan," ujar Hendri kepada Republika.co.id usai menjadi pembicara seminar bertema "Solusi Membangun Pendidikan Melalui Wakaf Produktif" di Aula Sekolah Fajar Hidayah, Kota Wisata Cibubur, Ciangsana, Bogor, Sabtu (14/12).
Menurut dia, sejak abada ke-15 umat Islam di Turki juga sudah menerapkan wakaf produktif untuk membangun pendidikannya. Misalnya, kata dia, ketika berwakaf Rp 10 miliar, maka Rp 5 miliar saja yang digunakan untuk membangun sekolah di Turki.
"Sedangkan Rp 5 miliar lagi diusahakan bisnis di mana keuntungannya digunakan untuk membayar guru, membayar murid dan segala macam," ucap Wakil Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun Bogor ini.
Dia menjelaskan, pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap umat Islam. Jika umat Islam tidak mendapat pendidikan, umat Islam akan ketinggalan dalam berbagai aspek kehidupan. Karena itu, sangat penting untuk membangun pendidikan gratis bagi umat Islam.
"Jadi, sekolah itu kan dalam Islam kebutuhan dasar. Jadi itu harus dijamin oleh pemerintah atau oleh rakyat. Nah caranya bagaimana? Caranya dengan dibuat wakaf," kata Hendri.
Menurut dia, potensi wakaf produktif di Indonesia sangat besar karena 60 persen umat Islam di Indonesia merupakan kelas menengah atau sekitar 127 juta jiwa. Dari jumlah itu, kata dia, kalau dihitung rata-rata setidaknya terdapat 20 juta kepala keluarga.
"Dari 20 jutaan kepala keluarga, kalau satu kepala keluarga wakaf Rp 100 ribu satu bulan, itu saja sudah sekitar Rp 2 triliun. Jadi Itu yang harusnya digarap," jelasnya.
Menurut dia, wakaf produktif adalah uang umat yang bisa diputar untuk usaha-usaha produktif yang menguntungkan. Lalu, hasilnya dapat digunakan untuk pembiayaan pendidikan. Kata dia, banyak bentuk wakaf produktif yang bisa dijalankan oleh lembaga pendidikan.
"Banyak, pokoknya ke usaha-usaha yang menguntungkan. Kalau tadi misalnya ke minimarket atau ke usaha yang sifatnya misalkan usaha toko bangunan. Bisa juga diinvestasikan ke Reksa Dana, bisa juga ke saham atau beli SUKUK pemerintah. Banyak yang bisa digunakan," katanya.
Dia mengatakan, wakaf produktif juga lebih baik daripada menggunakan model subsidi silang dalam pendidikan. Menurut dia, model subsidi silang tidak membuat sistem dan dananya bisa habis. Namun, wakaf produktif tidak akan habis dan akan terus menghasilkan.
"Kalau wakaf itu tidak habis terus menghasilkan. Karena pokoknya kan ditahan, terus yang diwakafkan hanya hasilnya," ucapnya.
Dalam praktiknya di Indonesia, Hendri melihat wakaf produktif untuk pendidikan sudah cukup bagus. Walaupun, kata dia, gerakan wakaf produktif ini kurang massif dijalankan.
"Beberapa lembaga sudah bagus, sudah menguntungkan. Cuma belum massif, kendalanya karena nazirnya itu. Jadi sekarang masih banyak nazir-nazir perorangan yang tidak punya kompetensi. Jadi perlu perlu diupgrade menjadi nazir berbadan hukum," kata Hendri.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Yayasan Pendidikan Islam (AYPI), Ustaz Mirdas Eka Yora, berpandangan bahwa wakaf produktif sangat strategis untuk dikembangkan di lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam. Karena, menurut dia, pada dasarnya semua pihak akan mendapatkan keuntungan dan memiliki nilai sosial yang tinggi.
"Ini sangat strategis buat lembaga pendidikan menjadi alternatif pengembangan ke depan melalui wakaf produktif. Cuma yang paling penting sekarang ini memilih dan memilah usaha-usaha yang tepat," kata Mirdas saat ditemui di acara yang sama.
Pendiri Yayasan SIT Fajar Hidayah ini mengatakan, lembaga pendidikan Islam di bawah naungan AYPI saat ini ada sekitar tiga ribu di 13 provinsi Indonesia.
Bahkan, kata dia, juga ada dari lembaga pendidikan di luar negeri yang bergabung swngan AYPI, seperti di Malaysia, Singapura, Thailand, Kamboja, dan Filipina.
"Kita sangat mendorong mereka mengembangkan pendidikannya melalui wakaf produktif. Karena resikonya jauh lebih tertangani dengan baik dibanding sistem pinjaman dari Bank," jelas Mirdas.
n/Muhyiddin