REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI – Presiden India Ram Nath Kovind telah mengesahkan RUU Amandemen Kewarganegaraan (CAB) menjadi undang-undang pada Jumat (13/12). Namun demikian, seiring dengan pengesahan RUU menjadi UU itu, aksi protes telah berlangsung menentang hukum yang dipandang memecah belah dalam sejarah India.
Aksi unjuk rasa menentang CAB ini telah berujung pada kekerasan, hingga memakan korban jiwa. Pada aksi protes kemarin Jumat, dua orang pria meninggal ketika polisi menindak ribuan demonstran di Guwahati di negara bagian Assam, India.
Kedua pria berusia 20-an itu menjadi kematian pertama dari protes yang meletus akibat CAB. Unjuk rasa pun terjadi di seluruh bagian India.
Saat ini, jalan-jalan di Assam dan Tripura sunyi setelah pemerintah memberlakukan jam malam. Pada saat bentrokan kemarin Jumat, polisi menembakkan gas air mata ke arah demonstran.
Para pengunjuk rasa kemudian menggelar aksi duduk, berbaris, dan membakar patung politisi nasionalis Hindu dari Partai Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa, termasuk Perdana Menteri Narendra Modi.
Assam adalah salah satu negara bagian India yang bereaksi negatif terhadap undang-undang yang baru tersebut. Sebab, UU itu akan mengizinkan orang-orang dari Pakistan, Bangladesh, dan Afghanistan mengajukan kewarganegaraan India.
Namun, sayangnya, UU itu berlaku bagi beberapa pemeluk agama, termasuk Hindu, Sikh, Kristen, Jain, Parsis dan Buddha. Islam tidak disebut dalam UU tersebut. Sehingga, UU ini dipandang dirancang untuk mengusir migran Muslim yang masuk ke India.
Assam sendiri telah menyaksikan gelombang migrasi selama bertahun-tahun. Banyak dari warga di sana yang kewarganegaraannya setelah diperiksa adalah migran, baik itu Hindu maupun Muslim.
Para migran di Assam ini datang dari negara tetangga Bangladesh. Dengan adanya RUU tersebut, kemungkinan besar orang Bengali Hindu akan menjadi warga negara India dan dapat memperoleh tanah secara sah di Assam.
Muslim di negara bagian perbatasan India sudah mengatakan, bahwa mereka adalah korban diskriminasi setelah Pendaftaran Warga Negara Nasional (NRC) diberlakukan di Assam. Dengan adanya tes kewarganegaraan itu, sekitar dua juta orang kini tidak lagi memiliki hak untuk tinggal di India.
Di Assam, pendaftaran itu telah merugikan jutaan warga di sana. Ratusan orang bunuh diri karena surat-surat atau dokumen mereka tidak lengkap. Sementara ribuan orang dipenjara karena dianggap sebagai 'tersangka asing'. Di samping, banyak warga yang kehilangan hak mereka di rumah.
Berbicara kepada AsiaNews, Sekretaris Jenderal Dewan Kristen Seluruh India sekaligus presiden Serikat Katolik Seluruh India, John Dayal, mengatakan bahwa pemerintah Modi telah melewati moralitas konstitusi dalam semangatnya untuk meningkatkan jangkauan dan kekuasaan politik, serta untuk mengimplementasikan agenda Sangh Parivar (nasionalis Hindu).
Menurutnya, UU bari ini secara mendasar kontradiksi. Sebab, UU itu berupaya memperluas pengecualian di Assam ke seluruh negara. Ia mengatakan, CAB membawa teror ke tingkat nasional.
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri, Amit Shah, mengatakan bahwa umat Hindu, Sikh, dan Kristen bakal disambut oleh India. Pengucilan Muslim ini telah menjadi pukulan psikologis bagi populasi Muslim India, yang merupakan terbesar ketiga di dunia.
Faktanya, Dayal mengatakan bahwa pemerintah belum mengatakan akan membuka perbatasannya untuk Ahmadiyah, Syiah dan kelompok pribumi yang menderita karena kediktatoran mayoritas serta penganiayaan di negara-negara tetangga.
Di tengah aksi protes kemarin, Liga Muslim Uni India mengajukan petisi untuk membatalkan UU tersebut. Seorang anggota Muslim terkemuka dari kelompok advokasi United Againts Hate (UAH), Nadeem Khan, mengatakan bahwa UU kewarganegaraan itu ilegal.
"Kami akan menantangnnya di harapan Mahkamah Agung," kata Nadeem Khan, dilansir di AsiaNews, Sabtu (14/12).
Khan menjelasakan, bahwa mereka telah mengetahui jika pemerintah mengejak kebijakan kebencian sektarian. Karena itu, menurutnya, undang-undang yang baru ini bertentangan dengan semangat konstitusi serta merupakan upaya untuk lebih mempolarisasi masyarakat.
Apalagi dalam pemilihan terakhir, kata dia, pemerintah memperoleh kekuasaan melalui strategi memecah masyarakat dan kini mempraktikkannya. Kendati begitu, dia mengapresiasi pihak-pihak yang memihak kepada mereka.
"Kami telah menerima solidaritas dari banyak komunitas. Kami akan terus memprotes bahkan dengan pembangkangan sipil," tambahnya.
Di sisi lain, langkah memprotes UU ini dilakukan sejumlah pejabat publik dengan cara mengundurkan diri dari jabatan mereka. Hal itu dilakukan sebagai protes untuk menunjukkan penentangan terhadap UU yang dinilai menyangkal pluralisme agama.
Abdur Rahman, seorang polisi Mumbai, adalah salah satu yang pertama melakukannya. "Ini tidak hanya perjuangan untuk umat Islam, tetapi untuk semua komunitas yang mengakui diri mereka dalam prinsip kesetaraan," kata Rahman.