Jumat 13 Dec 2019 05:17 WIB

Antara Harbolnas dan Jalur Sutra pada Era Daulah Islam

Daulah Islam sudah kenal perdagangan internasional sejak dahulu kala.

Lukisan suasana perdagangan di Jalur Sutra.
Foto: Google.com
Lukisan suasana perdagangan di Jalur Sutra.

Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Penulis dan Traveller

Hari ini sudah belanja apa di Harbolnas (Hari Belanja Online Nasional)? Seharian ini ramai cuitan tentang promo diskon segala rupa di media sosial.

Tahun lalu, tercatat transaksi Harbolnas 2018 menembus angka Rp 6,8 triliun. Naik Rp 2,1 triliun dari nilai transaksi Harbolnas tahun 2017.

Ada beberapa data menarik yang dirilis. Di antaranya, dalam sehari setidaknya 70.000 blender terjual, 200.000 jam tangan, dan ratusan ribu botol tempat minum.

 

Mengapa angka penjualannya begitu fantastis? Terbayangkan, kan, sampai ratusan ribu blender terjual dalam sehari. Siapa yang membeli?

Ini sangat mungkin terjadi karena transaksi di jagad maya lintas negara. Kita bisa membeli barang yang diproduksi dan dijual dari ujung dunia yang berbeda.

Kalau pernah membaca, belum lama viral seorang pengusaha panci dari Bantul yang omzetnya mencapai miliaran rupiah.

Menariknya, karena penjualannya melalui e-commerce, ia memiliki puluhan karyawan yang tersebar di 7 negara. Amerika, Singapura, China, Hongkong, Dubai, hingga Barcelona, yang semuanya dikendalikan dari kantor pusat di Bantul itu.

Perdagangan lintas benua menjadi sebuah keniscayaan saat ini. Teknologi memungkinkan melipat dunia dalam sentuhan jari. Dengan tiga kali “klik”: pilih, beli, bayar, tak lama barang yang diinginkan sudah berpindah tangan.

Tapi, pernahkah membayangkan perdagangan lintas benua seperti itu terjadi puluhan abad silam? Tepatnya 130 SM sampai sekitar abad ke-16 M.

Perdagangan kuno ini melintasi rute yang disebut Jalur Sutra atau silk road. Memperdagangkan rempah-rempah dari jazirah al-Mulk (Maluku), sutra dari Tiongkok, kapas dari Asia Tengah, batu mulia, emas dan gading gajah dari Afrika.

Pengelana Muslim Ibnu Bathutah dalam Grand Journey-nya juga sempat melintasi rute ini. Pengalaman menarik yang dicatat dalam kitabnya “ar-Rihlah” adalah adanya caravanserai.

Caravanserai merupakan tempat persinggahan yang disediakan oleh daulah-daulah Islam di sepanjang rute untuk para musyafir, pedagang, juga para penuntut ilmu. Mudahnya, semacam hotel kalau sekarang.

Hebatnya, tempat itu bisa digunakan secara gratis. Ibn Bathutah mencatat fasilitas yang disediakan berupa kasur jerami, tikar kulit, tempat wudhu, kendi berisi air, dan gelas minum. Yang di abad ke- 14, fasilitas itu serupa dengan hotel bintang empat di zaman modern ini.

Salah satu perlintasan penting Jalur Sutra adalah kota Samarkand yang sekarang menjadi bagian dari negara Uzbekistan.

Tercatat, di kota ini para pedagang Muslim tak hanya berdagang, namun sekaligus mencari ilmu. Jadi kalau pagi mereka ke pasar, sorenya ramai-ramai sekolah di berbagai madrasah yang ada.

Ilmu yang mereka dapat lalu dibawa pulang ke kampung halamannya untuk diajarkan. Hasilnya sungguh luar biasa. Ekonomi bergerak, rakyat cerdas.

Dalam buku “Old World Encounters: Cross-Cultural Contacts and Exchanges in Pre-Modern Times” Jerry Bentley menuliskan, “Jalur ini menjadi sarana penghubung yang membuka interaksi politik dan ekonomi antarperadaban pada zaman kuno.”

Lebih menarik lagi, selama ini banyak yang mengira Jalur Sutra sekadar rute dagang. Padahal, setelah datangnya Islam jalur ini juga menjadi rute dakwah.

Seperti yang diungkap John D Szostak dari Hawaii University AS dalam bukunya “The Spread of Islam Along the Silk Route”.

“Lewat Jalur Sutra, Islam menyebar hingga ke bagian paling timur wilayah Kekaisaran Tang dan menyeberang ke sungai Indus di anak benua India.”

Para pedagang Muslim juga banyak yang menikahi gadis lokal sehingga menjadi cikal bakal suku Hui. Etnis Cina Muslim yang masih eksis sampai saat ini.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement