Kamis 12 Dec 2019 15:27 WIB

Ini Penyebab Indeks Kerukunan Jakarta di Bawah Rata-Rata

Media sosial berpengaruh besar terhadap indeks kerukunan beragama di Jakarta.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Ani Nursalikah
Ini Penyebab Indeks Kerukunan Jakarta di Bawah Rata-Rata. Foto ilustrasi sejumlah warga berjalan menuju Masjid Istiqlal untuk melaksanakan Salat Idul Adha seusai memarkir kendaraan bermotornya di Gereja Katedral, Jakarta.
Foto: Aprillio Akbar/Antara
Ini Penyebab Indeks Kerukunan Jakarta di Bawah Rata-Rata. Foto ilustrasi sejumlah warga berjalan menuju Masjid Istiqlal untuk melaksanakan Salat Idul Adha seusai memarkir kendaraan bermotornya di Gereja Katedral, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengaruh politik, media sosial dan sikap kedaerahan menjadi faktor penyebab nilai indeks kerukunan umat beragama (KUB) di DKI Jakarta berada di bawah rata-rata. Sebelumnya, Kementerian Agama (Kemenag) merilis nilai indeks KUB di Jakarta sebesar 71,3, sementara nilai KUB nasional rata-rata sebesar 73,83.

Peneliti Ahli Utama di Badan Litbang dan Diklat Kemenag, Muhammad Adlin Sila mengatakan, ada faktor dinamika politik yang terjadi di tingkat pusat. Hal tersebut mempengaruhi ketiga daerah di antaranya Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.

Baca Juga

Ia menjelaskan, dari segi geografis, ketiga daerah ini yang paling dekat ke pusat. "Dari segi demografis, penduduk di Jakarta memang paling banyak disumbang oleh ketiga daerah ini," kata Adlin kepada Republika.co.id, Kamis (12/12).

Ia menerangkan, nilai indeks KUB secara nasional juga sebenarnya turun-naik di tahun-tahun krusial ketika perhelatan pilkada dan pilpres berlangsung. Jadi, politik mempengaruhi nilai indeks KUB.

Selain itu, dia mengatakan, masyarakat di Jakarta kebanyakan pendatang. Mereka ke Jakarta dengan membawa nilai-nilai eksklusif dari daerah masing-masing. Setelah mereka sampai di Jakarta pembauran cenderung tidak terjadi dengan baik, kecuali di tempat kerja dan lembaga pendidikan.

Di perkampungan Jakarta, para pendatang yang membawa nilai-nilai eksklusif dari daerah cenderung tidak membaur dengan baik. "Jadi masing-masing orang merasa sebagai pendatang, yang merasa penduduk setempat hanya suku Betawi," ujarnya.

Adlin juga mengatakan, di Jakarta terjadi perpecahan akibat pengaruh media sosial. Kata kecebong dan kampret serta buzzer pernah memperkeruh suasana di media sosial.

Menurutnya, pengaruh dari media sosial ini sangat besar. Sebab pengguna gawai paling banyak di Jakarta. Maka, Kementerian Komunikasi dan Informatika punya peran yang sentral dalam mendidik masyarakat supaya mereka menggunakan media sosial secara bijak.

"Perlu ada modal sosial yang baru untuk diajarkan ke masyarakat bagaimana berkomunikasi melalui media sosial secara bijak," ujarnya.

Adlin menegaskan, media sosial mempengaruhi ke kehidupan nyata masyarakat. Karena interaksi di masyarakat perkotaan cenderung menurun akibat tergantikan dengan komunikasi melalui media sosial. Survei indeks KUB juga berangkat dari persepsi masyarakat. Persepsi masyarakat sedikit banyak dibentuk oleh apa yang mereka baca dan yang mereka bagikan di media sosial.

Sebelumnya, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta, KH Munahar Muchtar mempertanyakan nilai indeks KUB Jakarta di bawah Papua dan Papua Barat. Menurutnya, di Jakarta tidak ada kerusuhan dan kehidupan umat beragama baik-baik saja.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement